Kamis, 21 Januari 2016

Obrolan Ringan, Tapinya Seru dan Serius soal Gratifikasi

Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiiem


Pertanyaan Serius ... (Sulhan Sofwan)
Bagaimana hukumnya melakukan hal yang melanggar hukum karena diminta orang lain atau karena saat ini sistemnya memang seperti itu ??

Contoh kasus ... Melakukan gratifikasi/suap karena kalo tidak begitu maka urusan kita akan diperlambat atau bahkan tidak diproses ?? (kasus suap untuk pembuatan SIM) ..

Kasus lain, Dalam tender perusahaan misalnya, yang susah untuk mendapatkannya jika tak diiringi dengan gratifikasi, sedangkan kita -sebagai pelaksananya lah- yang tertuntut oleh perusahaan)..

Monggo Gus Rifqiel Asyiq, Romzi Ahmad, عبد الله فباك dan atau yang lain..

<<>>

Deden Wahyuniman "ini amplopnya,,, yang penting beres ya pak" hahaha

Sulhan Sofwan pokoknya sy tau beres dan cepat pak.. brp? haha

Deden Wahyuniman hahha.. kaya di daerah gw, tembak 150rb, KTP jadi setengah jam... wkwkwkwk.. yang ikut prosedur 3 bulan lho, atau bahkan lebih ,. jiaahh

Amie Ds Revolusi mental jwabannya, maka ikuti saja alurnya. Contoh, pembuatan KTP, ini sangat penting dan hampir semua persyaratan administrasi akan selalu dibutuhkan yang namanya fotokopi KTP, tapi pembuatan KTP sangatlah susah bahkan bisa berbulan-bulan jadinya kalau tidak ada uang sogokannya ... hmm,. kapan ya birokrasi kita ini benar-benar di revolusi mentalnya ??.


Edy Jack Herwansyah Apapun Alasannya kalau melanggar hukum yaaaa harus di hukum ... Tinggal nanti di pembelaan bisa meringankan atau tidak terkait alasannya atau motifnya.

Romzi Ahmad Yo haram haram aja mas... frown emoticon  ,. Ini merupakan dosa terbesar negeri ini ya itu

Aep Saefudin Penetapan hukum halal haram dst, saya kira lebih dulu di banding dengan sistem yang ada sekarang, klo kejadianya seperti yang Sulhan contohkan, yaa kita harusnya bisa memposisikan hal tersebut bisa menjadi cepat & halal. Contoh, kita memberikan sesuatu kpd petugas sebuah hadiah (baik berupa duit atau lainya) sebagai imbalan jasa percepatan proses ...

And than, sedangkan gratifikasi/suap yoo berlakulah seperti yang di sabdakan Nabi SAW : "ARROSYI WAL MURTASYII FINNAAR" Insya Alloh
.

Sulhan Sofwan jadi yang dirubah adalah niatnya ya pak??, Ok, kalo seperti itu halnya, apakah nanti tak seperti ada kesan "mempermainkan" hukum ?? krn suap itu kita niatkan sebagai hadiah.. berarti harus didefinisikan dulu nih tentang standar "suap" dan "hadiah" .. perbedaan keduanya itu apa dan bagaimana ??.

Aep Saefudin Hukum tdk bisa di prmainkan. Keduanya memang beda-beda tipis... suap di ktagorikan sebagai suatu sodokan yang biasanya di tentukan nominalnya & di berikan sebelum mengerjakan, klo hadiah tergantung niat seseorang yang mau memberikanya & biasanya di lakukan sebagai tanda mata atas jasa yang telah di lakukan (di brikan setelah di kerjakan) oleh orang yang menerima hadiah tersebut .. Nah, untuk lebih "IKHTIATH"nya kita tdk melakukan hal smacam itu. Insya Alloh

عبد الله فباك haha , rang,. jujur kih, krungu "gratifikasi" bae gah dau2e kih Han Sulhan Sofwan., tapi baiklah ,. Secara bahasa, gratifikasi diartikan "kepuasan" (rujuk kamus Inggris), sehingga misalnya kita telah merasa "puas" akan sesuatu lalu dengan kepuasan tersebut, trus kita mencoba memberi/menghadiahkan sesuatu (entah itu barang/uang/jasa) kepada seseorang, maka soalan ini, tentu saja boleh2 saja, hukumnya pun sama dengan memberi "hadiah" (banyak jeh ketentuan teks2 keislaman tentang ini), silakan merujuk ke hadits2 tentang hadiah, nah, yang semodel ini kan sifatnya masih umum kan ya ...

Persoalannya sekarang, seperti halnya yang ente deskripsikan di atas, dalam konteks pembuatan SIM misalnya, lalu biar terjadi penyegeraan pemrosesannya hingga ente -dalam tanda kutip- "mengiming2i" oknum (baca para pejabat) dengan "menghadiahi" mereka akan halnya barang/uang/jasa, tapi kodikit, kaya2e kih kasuse Fahmi Ardi kin sih -seperti yang baru2 ini terjadi-, haha ,. maka dalam konteks ini barulah gratifikasi tersebut semacam ada pereduksian makna atau di persempit maknanya oleh sebab melihat adanya "siapa" menghadiahi "siapa", nah, oleh karenanya lalu tersusunlah sebuah draft regulasi negara secara khusus soal itu untuk menata dan mengaturnya, saya sendiri memang tak hapal betul perundang2an di masukd, tapi yang jelas ada lah ya.

Bagi saya, regulasi semcam ini namanya fiqh, meskipun bukan fiqh islam lho ya, alias fiqh negara, yang ketetapannya pun tentu haruslah kita ikuti/ta'ati, sebab jika hal ini dilanggar, kita akan terkena hukum gratifikasi tersebut yang jelas2 negara akan turun tangan dengan menindak pelanggarnya ; baik itu pelaku gratifikasi atau penerima gratifikasi. Dalam fiqh islam, ini pun sepertinya dibahas juga jeh, silakan rujuk fiqh2 islam modern.

Nah, kasus pertama seperti yang saya bilang sebelum terjadi pereduksian makna untuk "gratifikasi", saya juga sering qok melakukannya, saya kerap membeli barang2 branded misalnya, karena brandingnya lumayan bagus, jelas peminatnya pun luar biasa banyak, sehingga untuk meraih (membeli)nya pun harus berdesak2an, bahkan tak jarang harus ngantri berpuluh2 meter, nah -sebagai seorang yang cerdas- hihi,, saya juga ada tergelitik untuk keluarin kocek lebih demi untuk mendpatkan barang di maksud lebih cepat, dan alhamdulillah berhasil, padahal di sana, saya hanya perlu ngluarin sedikit tips barang 10 – 20rb rupiah saja kpd penjaga/scurity toko dimaksud, lalu dengan sigapnya dia memperlakukan saya bak raja diraja, haha , tuwing , barang branded pun segera di tangan ,. Nah, ini kan kasus gratifikasi pula kan ya ?!., atau prien luh ,, ??.

simpulaken dewek be lah ,. hehe ,. wAllahu A'lamu .. smile emoticon

Sulhan Sofwan apa kuh kasuse Fahmi Ardi ?? .. hahaa
oke kang, saya setuju klo hadiah (dgn makna dan maksd sebenarnya-tnp tanda kutip) sih ga masalah.. namun yang kadang menjadi terpepet adalah ketika -katakanlah- atasan kita menekan untuk segera menyelesaikannya, sedangkan secara hati nurani berontak.. ampun kang, keder mendi2 dadie..hehe ,. makasih kang ilmue

عبد الله فباك ,. kerisauan ente tergambar "Namun yang kadang menjadi terpepet adalah saat ketika -katakanlah- atasan kita menekan untuk segera menyelesaikannya, sedangkan secara hati nurani, jelas saya berontak" ,,, Nah, jika demikian halnya, menurutku, :itu bukan lagi urusan anda, maksudnya bahwa secara posisi anda yang hanya sebatas bawahan sebagai mitra kerja di perusahaan anda, maka secara demikian, anda pun harusnya tak terbebani sama sekali ("ora ketatrapan hukum" term Jawa) akan hukum gratifikasi di maksud, lakukan saja apa yang menjadi kewajibanmu sesuai fungsi dan jobmu, udah itu aja, beres kan ?, soal gratifikasi dan lain hal, biarlah itu menjadi urusan BOSmu., hehe

Fahmi Ardi
Hmmm... Saya tau arah permbicaraan ini kemana. Hahahaha... Tapi kasus saya yang baru2 ini terjadi itu prosedural loh, tuing , hehe .. ya krn memang sistemnya udah berjalan dg baik. Makanya saya kasih apresiasi. Hohohoooo

Dan menurut saya, grafitikasi itu terkadang muncul oleh krn ketidaksabaran kita dlm menghadapi berbelitnya birokrasi (anggaplah), smentara waktu yang kita miliki cuma sedikit. Maka di sinilah terjadi hukum "supply" and "demand". Tapi, memiliki waktu yang banyak aja pun ga menjamin untuk tdk memilih jalan itu, bisa jadi krn udah muak dg sgala perlakuan SOP yang mem-pimpong, atau ada sesuatu yang salah di sisi kita (misalnya kurangnya persyaratan), atau kita sendiri yang tergoda oleh oknum yang memberikan service lebih. Maka, terkait gratifikasi atau hadiah, sepertinya hal ini sangat tipis perbedaannya. Bedanya cuma di niat aja. Hahahahaaa.. Well, lagi2 hidup adalah sebuah pilihan. Semakin banyak memilih hal2 yang baik dan mengurangi (bukan menghilangkan lho) hal2 yang buruk akan membantu terciptanya ekosistem yang sehat. Dan kita tdk sedang sedang merampas hak orang lain. IMHO.

Sulhan Sofwan sip mi Fahmi Ardi... Dadi proyek IT sih ana gratifikasie beli kih ?? hahahaa

Fahmi Ardi Psti ada, tergantung tipikal klien dan level yang dihadapi han. Klo levelnya kuli kaya saya mah boro2 mau ngasih gratifikasi. Wong buat BEP aja ngap2an. Paling mentok y nawarin roko ngopi breng u meredam ego masing2. Hahahahaaa

Moch Misbakhussudur mendamaikan idealisme(hukum agama/hukum positif/norma) dengan realita itu membuat dilema disistem yg bersandar ganda...kalo saya klo tdk bisa menghindar dr "persepsi" seperti itu buat yg apa yg bisa dan seminimal mungkin dosanya....dilema oh dilema...wajar lah jaman sudah menuju...entropinya naik...sunatullah

Sulhan Sofwan betul bah.. bener2 dilema dan kadang bs membuat org terlena karn kewajarannya..

Moch Misbakhussudur sooooo....org itu cmn bisa jd penafsir penafsir dr serpihan realita...yg bener bener tau yah kita sendiri terutama hati kita...udah lbh dr 5 tahun sering merasakan dan mendengar cerita selerti itu...

Rifqiel Asyiq Ribet memang ketika dikaitakan karo kepemerintahan. Pengene beli nggo mengkonon tapi beli mengkonon serba salah, kena tilang ning dalan wayahe dituruti gawe SIM malah dipersulit bahkan terang2an oknum yang dari kalangan aparat sendiri yang dengan gamblangnya pasang spanduk "HINDARI CALO" malah calo terbesarnya dari kalangan internal sendiri.

Ikilah sing arane bahwa orang gampang dadi wong bener-bener kelawan bareng-bareng, ari dewekan sih puguh langka urusan karo makhluk sejen kecuali karo Allah semacam ibadah mahdlah.

Dalam konteks yang sebegitu kompleksnya ini, saya lebih tertarik menggunakan kaidah جلب المصالح مقدم على درءالمفاسد.

Jadi tujuan kemaslahatan awal tetap dijadikan sebagai substansi, karena kenyataan memberi jawaban pada kita bahwa kita yang lemah terhadap birokrasi pemerintahan tidak sanggup berbuat apa-apa ketika dihadapkan dengan persoalan demikian.

contoh sing paling sering tek alami iyaiku ketika berhadapan dengan kemenag, kemendiknas kaitane urusan BOS dan jenis bantuan lainnya. Tujuan awal jelas agar dana-dana itu mengalir ke pangkuan haknya secara kode etik pendidikan melalui tatanan hukum melalui undang-undang yang berlaku.

Nyatanya, memang di lapangan ketika terlalu idealis justru hak kita terrampas 100%, nah.. trik-trik di atas yang disampaikan kang duloh tadi bisa diakali dengan kenyataan di lapangan yang sudah blak-blakan sehingga kesan istilah "Rahasia Umum" itu sudah terlewati masanya, malah jadi nyadong blak-blakan.


Pertimbangan tetap terhadap kemaslahatan daripada ora cair mending memilih kemadlorotan yang lebih kecil daripada generasi pendidikan menjadi ancaman terhadap masa depan siswa/i. Ini bicara fiqh yang mengenal dengan istilag muqtadhal haal atau kondisional.

Wallahu a'lam.

Aep Saefudin Iki ana sebuah cerita bukan fiktif lho ya, tapi nyata ... Almukarrom wal mukhtarom KH. Ibadullah (kakak kang Abdullah Fabak) desa Tegalgubug lor. Suatu waktu Yayasane olih bantuan dari pemerintah, dengan seabrek persyaratan sebegitu ribet tentunya, alhasil dana tersebut bisa cair hanya sekian %nya saja, tentu karena ada alasan untuk ADM lah, LPJ lah, dll. (jare wong kita sih di sunati jeh).

Lalu dengan tegas beliau selaku sesepuh sekaligus penanggung jawab Yayasan menolak pencairan dana bantuan itu sampai2 Kep. KANDEPAG baik dari Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi datang berkunjung ke beliau untuk agar beliau (pak kiyai) bisa menerima & mencairkan dana bantuan di maksud. Tapi beliau tetep kekeh pada pendirianya (tak mau mencairkan). Lalu setelah ada dialog/negoisasi singkat akhirnya ada kesepakatan (deal) di antara mereka yang hasilnya "PENCAIRAN 100%" dengan resiko ADM & SPJ 0,00 sekian %.

Kesimpulan yang bisa dipetik dari kisah nyata tersebut, kita tentu mengerti & tau betul bahwa sesuatu itu dapatlah terealisasi dengan baik & benar tanpa mengurangi prosentase kemaslahatan umum sedikitpun, lalu bagaimana kita tak bisa ...?, meski seperti yang dikatakan banyak orang bahwa ianya susah ditembus dengan segala macem keribetannya. Padahal di dunia ini kan tidak ada yang tidak mungkin...tentu kita harus menyadari betul akan skill individu kita dalam menata projek yang kita hadapi... kita pun harus sadar betul & memahami pada ALBATHIL BIN NIDHOM YAGHLIBULHAQ BILA NIDHOM ... Apakah setelah itu tidak lagi mendapat bantuan...? Jawabanya masih seperti biasa pada umumnya setiap Yayasan ... Hehehe

wAllahu A'lamu bish-Shawaab.

<<>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar