Sabtu, 26 Maret 2016

Fashal IV : Memuliakan Ilmu dan Penyandangnya

Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiiem

Ketahuilah, seorang pelajar sebenarnya takkan bisa berhasil peroleh ilmu dan takkan bisa membawa manfa'at dari padanya kecuali harus dengan sikap ta'dziem (memuliakan) ilmu pengetahuan dan penyandangnya, di samping juga harus memuliakan guru dengan sikap menghormati dan mengagungkannya.

Ada dikatakan :  "Suksesnya seseorang mencapai sesuatu itu hanya karena dia telah mampu mengagungkan sesuatu tersebut, dan gagalnya pula karena dia tak mau mengagungkannya, alias meremehkan".

Dikatakan juga : "Sikap hormat itu bagian dari keta'atan, Tidakkah anda tahu, bahwa manusia tidak menjadi kufur oleh karena maksiatnya, tapi jadi kufur lantaran tidak mengagungkan Allah. Mengagungkan Guru".


Dan termasuk sikap penghormatan (para pelajar) terhadap ilmu pengetahuan dan guru, Sayidina 'Aly -radiAllahu 'anhu- ada pernah berkata : "Aku adalah seorang hamba dari pada guru yang telah pernah mengajariku meski satu huruf, jika mau (bisa saja) aku dijualnya, dan jika mau (bisa saja) dia menguasaiku".

Berkenaan dengan sikap hormat ini, aku telah menggubah sebuah sya'ir :

رَأَيْتُ أحَقَّ الحَــقَّ حَــقَّ الْمُعَلِّمِ  ::  وَأَوْجَـــبَهُ حِفْظًا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

لَقَدْ حَقَّ أنْ يُهْدَى إلَيْهِ كَرَامَةً  ::  لِتَعْلِيْمِ حَرْفِ وَاحِدٍ ألْفَ دِرْهَمٍ


Aku melihat sebuah kebenaran yang paling benar dengan sebenar-benar kebenaran sepertimana kebenaran sang guru ::  Ialah dia yang telah menekankan kebenaran itu untuk supaya aku jaga atas setiap muslim

Sungguh benar jika kepadanya dianugerahkan label kemuliaan :: oleh sebab pengajaran satu huruf saja harus di balas dengan seribu dirham.

Maka, orang yang telah mau mengajarimu satu huruf sesungguhnya dialah yang kau butuhkan dalam urusan agama, dialah bapakmu yang sebenarnya dalam urusan agama.

Dan adalah Syekh Imam Sadiduddin Asy-Syaerazi menceritakan : guru-guru kita berkata "Siapa yang mau agar kelak anaknya pintar ('alim), hendaknya dia menaruh perhatian besar terhadap para fuqaha, harus memuliakan mereka, memberi makan mereka, loyal sepenuh hati dengan mau menta'tati fatwa-fatwa mereka, lalu jika kelak ternyata anaknya tak cukup 'alim (pintar), mudah-mudahan kelak cucunya yang menjadi 'alim".

Termasuk dalam penghormatan kita terhadap seorang guru ialah tidak sekali-kali mendahuluinya saat berjalan dengan guru, tidak mengawalinya saat berbicara kecuali dengan meminta izin sebelumnya serta tidak banyak bicara di sisinya, tidak diperkenankan bertanya/menyangkal ketika kita merasa bosan/jenuh dengan pembicaraannya, hendaknya kita biarkan sejenak untuk sesaat, tidak mengaburkan tema pembicaraan, justru dianjurkan menajamkan pembicaraan hingga dia sendiri (sang guru) keluar dari tema yang dibicarakan.

Kesimpulannya : seorang pelajar haruslah senantiasa mencari ridhonya, menjauhkan diri mengundang kebenciannya, menuruti perintah/anjurannya selama hal itu tidak berimplikasi terhadap penentangan (maksiyat) kepada Allah SWT, sesungguhnya tiada ta'at (loyal) sedikitpun kepada makhluq untuk berlaku maksiyat kepada sang Khaliq (Allah SWT) sebagaimana hal itu pernah disabdakan Nabi SAW : "Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah seorang yang menghilangkan nilai-nilai agamanya karena (loyal terhadap) dunianya untuk berlaku maksiyat kepada Tuhannya". Al-Hadits.

Dan termasuk penghormatan (kita dan para pelajar) kepada sang guru adalah menghormati anak-anaknya dan orang-orang yang masih ada hubungan dengannya.

Adalah guru kita, syaekhul Islam Burhanuddin pengarang kitab "al-Hidayah" -rahimahullahu 'alayhi- pernah menceritakan : "Bahwasannya ada seseorang dari kalangan para Imam di daerah Bukhara tengah duduk-duduk di suatu majlis pengajaran, lalu di tengah pengajarannya itu terkadang beliau berdiri, lalu para muridnya memberanikan diri untuk bertanya (tentang hal itu), lalu beliau menjelaskan "Sesungguhnya salah satu putra guruku tengah bermain bersama anak-anak sebayanya di halaman itu, dan kadang-kadang (dalam permainannya tersebut) sampai lah anak itu ke pintu masjid ini, maka tatkala aku melihatnya aku pun berdiri karenanya sebagai sikap ta'dziemku kepada sang guru" ".

Sedangkan al-Qadi al-Imam Fakhruddin al-Arsabandy, beliau adalah kepala Imam Maru, dan adalah penguasa (sulthan) senantiasa memuliakannya sepenuh hati seraya berkata : "Hanyasannya saya mendapatkan kedudukan ini demi untuk melayani sang guru, sungguh aku pelayan guruku, al-Qadi Abu Zaid ad-Dabuusi, dan aku melayaninya dan menyiapkan makanannya [selama kurun tiga puluh tahun] dan aku tak pernah berani mencicipi makanan itu sedikitpun".

Adalah Syekh Imam yang agung, mentarinya para Imam, yaitu al-Halwani -rahimahullahu alayhi- suatu hari beliau hendak keluar (pergi) dari Bukhara menuju suatu tempat untuk suatu kebutuhan yang terjadi pada diri beliau hingga pun beliau memutuskan untuk menginap/bermalam di salah satu pedasaan untuk beberapa hari kedepan, lalu di sana para muridnya berdatangan berbondong-bongdong mengunjungi beliau kecuali Syekhul-Imam, al-Qadi Bakar ibn Muhammad Az-Zarnuji -rahimahullahu 'alayhi- kemudian beliau (al-Halwani) berkata saat beliau menemuinya seraya bertanya : "Mengapa engkau tidak datang mengunjungiku ?", al-Qadi menjawab : "Aku tengah sibuk mengurusi persalinan/kelahiran anakku" jawabnya, lalu al-Halwani berkata lagi : "Engkau diberi rizqi dengan bertambah usiamu, namun kau tak diberi rizqi dengan keindahan ilmumu". Dan begitulah seharusnya, maka sesungguhnya di setiap kali beliau menetap/menginap di banyak pedasaan dan beliau tak lagi ada pengajaran saat itu. Dan barang siapa telah pernah menyakiti gurunya, maka haramlah baginya keberkatan ilmu dan baginya tak ada kemanfaatan ilmu yang telah dirahnya itu kecuali hanya sedikit saja.

إنَّ الْـمُــــعَلِّمَ وَالطَّـبِـــــيْبَ كِـلَاهُـــــمَا :: لَا يُنَصِّــحَـانِ إذَا هُـمَا لَمْ يُكْــرَمَا

فَاصْبِرْ لِدَائِكَ إنْ جَفَوْتَ طَبِيْبَهُ :: وَاقْنَعْ بِجَهْلِكَ إنْ جَفَوْتَ مُعَلِّمَا


Sebenarnya, seorang guru dan seorang dokter, keduanya itu  :: takkan sudi memberi nasihat (resep) jika keduanya tak di hormati

Maka terima saja penyakitmu, bila kau berani acuhkan (resep) sang dokter :: dan terimalah kebodohanmu, bila kau berani sangkal (nasihat) sang guru.

Dikisahkan, bahwasannya Khalifah Harus Rasyied ada pernah mengirim putranya kepada al-Ashmu'ie untuk agar putranya itu diajarkan ilmu dan adab, suatu hari sang Khalifah melihat sang guru (al-Ashmu'ie) tengah berwudhu, membasuh kakinya, sedang putranya mengucurkan air untuk pembasuhan kaki sang guru tersebut, lalu sang Khlifah mencaci guru itu, al-Ahmu'ie (tentang hal yang dilihatnya itu), seraya berkata : "Hanyasannya saya mengirim putraku kepada anda itu hanya untuk supaya anda mau mengajari dia ilmu dan adabnya supaya menjadi baik, lalu mengapa anda tak melakukannya sendiri untuk sekalian mengucurkan air dengan salah satu tangan anda, dan membasuhnya dengan tangan anda yang lain untuk basuhan kaki anda sendiri ?".

Termasuk bagaimana cara (para pelajar) mengagungkan/memuliakan ilmu pengetahuan ialah harus dengan memuliakan buku-buku dan atau kitab-kitab, ketika mengambil buku hendaknya seorang pelajar dalam keadaan berwudlu (tidak berhadats).

Diceritakan dari Syekh mentarinya para Imam, al-Halwani -rahimahullahu 'alayhi- bahwasannya beliau menasihatkan : "Aku peroleh banyak ilmu pengetahuan itu sesungguhnya dengan cara pengagunganku yang besar terhadap buku-buku ilmu pengetahuan, aku tak pernah mengambil/membawa kitab kecuali dengan keadaanku suci (tak berhadats)".

Sedangkan guru kita, mentarinya banyak panutan, As-Sarkhasy, pada suatu malam beliau membathin, dan beliau terlihat mengulang-ulang wudlu di malam itu hingga terulang tujuh belas kali, mengapa ?, karena sesungguhnya beliau tak bisa mengulangi pelajaran kecuali dalam keaadaan suci (tak berhadats), demikian itu karena -menurut beliau- sesungguhnya ilmu itu nur (cahaya), sedang wudlu adalah nur (cahaya), maka bertambah memancarlah nur ilmu itu manakala harus ditempuh dengan keadaan berwudlu.

Termasuk bagaimana seharusnya (para pelajar) mengagungkan/memuliakan para guru ialah mereka jengan sekali-kali melangkahkan kaki melewati kitab, dan menempatkan/meletakkan kitab tafsir diatas semua kitab [karena memuliakannya], dan tidak membawa sesuatu yang lain atas kitab tafsir tersebut.

Adalah guru kita, syekh Burhanuddin -rahimahullahu 'alayhi- pernah menceritakan sebuah kisah dari para gurunya : "Bahwasannya dulu ada seorang faqih pernah menaruh/meletakkan sebuah bejana tinta diatas kitab, maka beliau ditegur oleh gurunya (dengan bahasa Persi) "Celaka kamu !!",".

Dan adalah guru kita, al-Qadi al-Imam yang agung Fakhruddin yang populer dengan julukan "Qadi Khan" -rahimahullahu 'alayhi- pernah berkata : "Manakala seseorang telah meremehkan hal itu, yah tak apalah, namun sebaiknya kita harus menjaga diri dari sikap-sikap kehinaan tersebut".

Termasuk bagaimana seharusnya (para pelajar) memuliakan ilmu, ialah memperbaiki /membagusi cara-cara penulisan sebuah tulisan (catatan), tidak menulisnya secara kecil-kecil, dan juga meninggalkan/membuat catatan-catatan kecil -maksudnya- ketika diperlukan secara mendesak.

Imam Abu Hanifah -rahamatullah- pernah melihat suatu kitab (buku) yang di dalamnya banyak terurai catatan-catatan kecil, kemudian beliau berkata : " Jangan kau bikin tulisanmu tidak jelas, sedang kau kalau ada umur panjang akan hidup menyesal, dan jika mati akan dimaki, Maksudnya, jika kau semakin tua dan matamua rabun, akan menyesali perbuatanmua sendiri itu".

Ada sebuah cerita dikisahkan dari Syekh Imam Majduddin ash-Sharkhakiy,  yang menceritakan : "Kami menyesali tulisan yang tidak jelas, catatan kami yang pilih-pilih dan pengetahuan yang tidak kami bandingkan dengan kitab lain".
Sebaiknya format kitab itu persegi empat, sebagaimana format itu pulalah kitab-kitab Abu Hanifah. Dengan format tersebut, akan lebih memudahkan jika dibawa, diletakkan dan di muthalaah kembali.

Sebaiknya pula jangan ada warna merah didalam kitab, karena hal itu perbuatan kaum filsafat bukan ulama salaf. Lebih dari itu ada diantara guru-guru kita yang tidak suka memakai kendaraan yang berwarna merah.

Termasuk bagaimana (para pelajar) mengagungkan ilmu pengetahuan ialah harus memuliakan teman/sahabat [teman sepembelajaran] dan juga orang-orang yang tengah menimba ilmu. Bercumbu rayu itu merupakan sifat tercela kecuali dalam pembelajaran.

Bercumbu rayu dengan para guru dalam hal belajar juga sebaiknya dilakukan oleh para pelajar, juga kepada semua teman/sahabat sepembelajaran, funginya untuk mencari dan berusaha memahami materi belajar di kalngan para pelajar.

Dan bagi pelajar juga sebaiknya mendengarkan betul-betul dan memperhatikan secara seksama akan ilmu dan hikmah dengan cara ta'dziem dan penuh penghayatan, sekalipun harus diulang seribu kali untuk satu masalah ilmu.

Dikatakan : Siapa yang tak memuliakan ilmu pengetahuan setelah diulang hingga seribu kali seperti memulikannya sebagaimana sedia kala, maka orang tersebut tak layak disebut ahli ilmu (menyandang ilmu pengetahuan).

Sebaiknya bagi seorang pelajar untuk tidak memilih satu macam ilmu, justru seharusnya dia menyerahkan sepenuhnya kepada sang guru (biarlah guru saja yang memilihkannya), karena sesungguhnya guru itu sebagai satu faktor terbukanya ilmu pengetahuan, maka sebaiknya pelajar mengetahui masing-masing dan apa saja yang sepatutnya dengan tabi'atnya.

Dan adalah Syekh Imam yang agung, al-ustadz Burhanul-Haq wad-Din -rahimahuallahu 'alayhi- berkata : "Di masa-masa awal pembelajaran para pelajar sebaiknya menyerahkan sepenuhnya kepada para guru dalam segala urusan, sebab para gurulah yang berhak menyampaikan kepada para pelajar apa yang menjadi maksud dan tujuan pembelajaran, dan sekarang para pelajarlah yang memilih sendiri apa yang sepatutnya mereka pelajari, para guru tak lagi mendampingi dan menyampaikan maksud dan tujuan pembelajaran, apa itu ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu fiqh secara khusus".

Ada suatu cerita  bahwasannya Muhammad ibn Isma'iel al-Bukhari, (yaitu yang populer dengan sebutan Imam Bukhari) -rahimahullah 'alayhi- adalah seorang pelajar yang mengawalinya menulis bab shalat di hadapan gurunya, yaitu Muhammad ibn al-Hasan -rahimahullah 'alayhi-, kepada Imam Bukhari, lalu gurunya itu berkata : "Pergilah dan pelajarilah ilmu hadits", karena rupanya gurunya itu memandang bahwa ilmu hadits inilah yang lebih cocok pada kepribadian muridnya itu, Imam Bukhari. Maka sejak itu, Imam Bukhari menungkuli ilmu hadits dan menjadilah beliau -seperti terlihat sekarang ini- sebagai salah seorang ulama terkemuka dibidang hadits.

Dan -yang harus diperhatikan oleh para pelajar- sebaiknya tidak duduk secara berdekatan dengan gurunya saat berhadapan kecuali ada alasan yang jelas, justru sebaiknya antara murid dan guru itu mengambil jarak kira-kira sejauh lingkaran busur, demikianlah jarak yang paling ideal antara keduanya sebagai bentuk memuliakan guru.

Sebaiknya juga seorang pelajar untuk bisa menjaga diri dan menjauhi dari akhlaq tercela, sebab akhlaq tercela itu bisa diartikan laiknya sebagai anjing, Rasulullah SAW bersabda : "Para Malaikat takkan pernah mau memasuki rumah seseorang selama di dalam rumah itu ada anjing dan lukisan/gambar hidup". Sementara, seseorang itu tak bisa menimba ilmu kecuali harus dengan pelantaraan Malaikat.

Akhlaq tercela dapat dipelajari (diketahui) di banyak kitab akhlaq, sedangkan di kitab ini tak cukup banyak di bahas.

[Sebisa mungkin menjauhinya] terkhusus seperti sifat takabbur (sombong), sebab dengan sifat takabbur ini seorang pelajar takkan bisa mencapai/berhasil mendapatkan ilmu pengetahuan.

Dikatakan : Ilmu itu sangat tak berkenan [kepada seorang pemuda] yang bersikap tinggi hati (sombongkan diri) sebagaimana ketidak berdayaan aliran air yang takkan bisa menjangkau tempat-tempat yang tinggi.

<<>> 

فصل
فى تعظيم العلم وأهله

          اعلم أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ وتوقيره.
          قيل : ما وصل من وصل إلا بالحرمة، وما سقط من سقط إلا بترك الحرمة .
          وقيل : الحرمة خير من الطاعة، ألا ترى أن الإنسان لا يكفر بالمعصية، وإنما يكفر باستخفافها ، وبترك الحرمة.
          ومن تعظيم العلم تعظيم الأستاذ، قال على رضى الله عنه: أنا عبد من علمنى حرفا واحدا، إن شاء باع، وإن شاء استرق .
          وقد أنشدت فى ذلك :
رأيت أحــق الحق حــق المعـــلم          وأوجـبه حفظا على كل مسلم
لقد حق أن يهدى إليه كرامة        لتعليم حرف واحد ألف درهم
          فإن من علمك حرفا واحدا مما تحتاج إليه فى الدين فهو أبوك فى الدين.
          وكان أستاذنا الشيخ الإمام سديد الدين الشيرازى  يقول: قال مشايخنا: من أراد أن يكون ابنه عالما ينبغى أن يراعى الغرباء من الفقهاء، ويكرمهم ويطعمهم ويطيعهم شيئا، وإن لم يكن ابنه عالما يكون حفيده عالما.
          ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه، ولا يجلس مكانه، ولا يبتدئ بالكلام عنده إلا بإذنه، ولا يكثر الكلام عنده، ولا يسأل شيئا عند ملالته  ويراعى الوقت، ولا يدق الباب بل يصبر حتى يخرج الأستاذ.
          فالحاصل: أنه يطلب رضاه، ويجتنب سخطه، ويمتثل أمره فى غير معصية لله تعالى، فإنه لا طاعة للمخلوق فى معصية الخالق  كما قال النبى صلى الله عليه وسلم: إن شر الناس من يذهب دينه لدنيا بمعصية الخالق .
ومن توقيره: توقير أولاده ومن يتعلق به.
          وكان أستاذنا شيخ الإسلام برهان الدين صاحب الهداية رحمة الله عليه حكى: أن واحدا من أكابر الأئمة بخارى كان يجلس مجلس الدرس، وكان يقوم فى خلال الدرس أحيانا فسألوا عنه, فقال: إن ابن أستاذى يلعب مع الصبيان فى السكة، ويجيئ أحيانا إلى باب المسجد، فإذا رأيته أقوم له تعظيما لأستاذى .
          والقاضى الإمام فخر الدين الأرسابندى  كان رئيس الأئمة فى مرو  وكان السلطان يحترمه غاية الاحترام وكان يقول: إنما وجدت بهذا المنصب بخدمة الأستاذ فإنى كنت أخدم الأستاذ القاضى الإمام أبا زيد الدبوسى  وكنت أخدمه وأطبخ طعامه [ثلاثين سنة] ولا آكل منه شيئا.
          وكان الشيخ الإمام الأجل شمس الأئمة الحلوانى  رحمة الله عليه قد خرج من بخارى وسكن فى بعض القرى أياما لحادثة وقعت له وقد زاره تلاميذه غير الشيخ الإمام شمس الأئمة القاضى بكر بن محمد الزرنجرى  رحمه الله تعالى، فقال له حين لقيه: لماذا لم تزرنى؟ قال: كنت مشغولا بخدمة الولادة. قال: ترزق العمر، لاترزق رونق الدرس، وكان كذلك، فإنه كان يسكن فى أكثر أوقاته فى القرى ولم ينتظم له الدرس . فمن تأذى منه أستاذه يحرم بركة العلم ولا ينتفع بالعلم إلا قليلا.
إن الـمـعلم والطـبيب كـلاهـما :: لا ينصحـان إذا هـما لم يكــرما
فاصبر لدائك إن جفوت طبيبه :: واقنع بجهلك إن جفوت معلما
          حكى أن الخليفة هارون راشيد بعث ابنه إلى الأصمعى  ليعلمه العلم والأدب فرآه يوما يتوضأ ويغسل رجله، وابن الخليفة يصب الماء على رجله، فعاتب الأصمعى [فى ذلك] بقوله : إنما بعثت إليك لتعلمه وتؤدبه فلماذا لم تأمره بأن يصب الماء بإحدى يديه، ويغسل بالأخرى رجلك ؟
          ومن تعظيم العلم : تعظيم الكتاب، فينبغى لطالب العلم أن لا يأخذ الكتاب إلا بطهارة.
          وحكى عن الشيخ شمس الأئمة الحلوانى رحمه الله تعالى أنه قال: إنما نلت هذا العلم بالتعظيم، فإنى ما أخذت الكاغد  إلا بطهارة.
          والشيخ الإمام شمس الأئمة السرخسى  كان مبطونا  فى ليلة، وكان يكرر ، وتوضأ فى تلك الليلة سبع عشرة مرة لأنه كان لا يكرر إلا بالطهارة، وهذا لأن العلم نور والوضوء نور فيزداد نور العلم به.
          ومن التعظيم الواجب للعالم أن لا يمد الرجل إلى الكتاب ويضع كتاب التفسير فوق سائر الكتب [تعظيما] ولا يضع شيئا آخر على الكتاب.
          وكان أستاذنا الشيخ برهان الدين رحمه الله تعالى يحكى عن شيخ من المشايخ: أن فقيها كان وضع المحبرة على الكتاب، فقال له [بالفارسية]: برنيايى .
          وكان أستاذنا القاضى الإمام الأجل فخر الدين المعروف بقاضى خان  رحمه الله تعالى يقول: إن يرد بذلك الاستخفاف فلا بأس بذلك والأولى أن يحترز عنه.
          ومن التعظيم: أن يجود كتابة الكتاب ولا يقرمط  ويترك الحاشية إى عند الضرورة.
          ورأى أبو حنيفة رحمه الله تعالى كتابا يقرمط فى الكتابة فقال: لا تقرمط خطك، إن عشت تندم وإن مت تشتم. يعنى إذا شخت وضعف نور بصرك ندمت على ذلك .
          وحكى عن الشيخ الإمام مجد الدين الصرخكى ، حكى أنه قال: ما قرمطنا ندمنا، وما انتخبنا ندمنا، وما لم نقابل ندمنا.
          وينبغى أن يكون تقطيع الكتاب مربعا، فإنه تقطيع أبى حنيفة رحمه الله تعالى، وهو أيسر على الرفع والوضع والمطالعة .
          وينبغى أن لا يكون فى الكتابة شيئ من الحمرة، فإنه من صنيع الفلاسفة لا صنيع السلف، ومن مشايخنا كرهوا استعمال المركب  الأحمر.
          ومن تعظيم العلم: تعظيم الشركاء [فى طلب العلم والدرس] ومن يتعلم منه. والتملق مذموم إلا فى طلب العلم .
فإنه ينبغى أن يتملق لأستاذه وشركائه ليستفيد منهم .
          وينبغى لطالب العلم أن يستمع العلم والحكمة بالتعظيم والحرمة، وإن سمع مسألة واحدة أو حكمة واحدة ألف مرة.
          وقيل: من لم يكن تعظيمه بعد ألف مرة كتعظيمه فى أول مرة فليس بأهل العلم.
          وينبغى  لطالب العلم أن لا يختار نوع العلم بنفسه، بل يفوض أمره إلى الأستاذ، فإن الأستاذ قد حصل له التجارب فى ذلك، فكان أعرف بما ينبغى لكل واحد وما يليق بطبيعته.
          وكان الشيخ الإمام الأجل الأستاذ برهان الحق والدين رحمه الله تعالى يقول:
          كان طلبة العلم فى الزمان الأول يفوضون أمرهم فى التعلم إلى اساتذهم، وكانوا يصلون إلى مقصودهم ومرادهم، والآن يختارون بأنفسهم، فلا يحصل مقصودهم من العلم والفقه.
          وكان يحكى أن محمد بن إسماعيل البخارى  رحمه الله تعالى كان بدأ بكتابة الصلاة على محمد بن الحسن رحمه الله، فقال له محمد بن الحسن: إذهب وتعلم علم الحديث، لما روى أن ذلك العلم أليق بطبعه، فطلب علم الحديث فصار فيه مقدما على جميع أئمة الحديث .
          وينبغى لطالب العلم أن لايجلس قريبا من الأستاذ عند السبق بغير ضرورة، بل ينبغى أن يكون بينه وبين الأستاذ قدر القوس فإنه أقرب إلى التعظيم.
          وينبغى لطالب العلم أن يحترز عن الأخلاق الذميمة، فإنها كلاب معنوية، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب أو صورة . وإنما يتعلم الإنسان بواسطة ملك.
          والأخلاق الذميمة تعرف فى كتاب الأخلاق وكتابنا هذا لا يحتمل بيانها.
          [وليحترز] خصوصا عن التكبر ومع التكبر لا يحصل العلم.
          قيل:
          العلم حرب [للفتى] المتعالى كالسيل حرب للمكان العالى

Tidak ada komentar:

Posting Komentar