Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiiem
Ketahuilah, seorang pelajar sebenarnya takkan bisa berhasil peroleh ilmu dan takkan bisa membawa manfa'at dari padanya kecuali harus dengan sikap ta'dziem (memuliakan) ilmu pengetahuan dan penyandangnya, di samping juga harus memuliakan guru dengan sikap menghormati dan mengagungkannya.
Aku melihat sebuah kebenaran yang paling benar dengan sebenar-benar kebenaran sepertimana kebenaran sang guru :: Ialah dia yang telah menekankan kebenaran itu untuk supaya aku jaga atas setiap muslim
Sebenarnya, seorang guru dan seorang dokter, keduanya itu :: takkan sudi memberi nasihat (resep) jika keduanya tak di hormati
Ketahuilah, seorang pelajar sebenarnya takkan bisa berhasil peroleh ilmu dan takkan bisa membawa manfa'at dari padanya kecuali harus dengan sikap ta'dziem (memuliakan) ilmu pengetahuan dan penyandangnya, di samping juga harus memuliakan guru dengan sikap menghormati dan mengagungkannya.
Ada dikatakan :
"Suksesnya seseorang mencapai sesuatu itu hanya karena dia telah
mampu mengagungkan sesuatu tersebut, dan gagalnya pula karena dia tak mau
mengagungkannya, alias meremehkan".
Dikatakan juga : "Sikap
hormat itu bagian dari keta'atan, Tidakkah anda tahu, bahwa manusia tidak
menjadi kufur oleh karena maksiatnya, tapi jadi kufur lantaran tidak
mengagungkan Allah. Mengagungkan Guru".
Dan termasuk sikap penghormatan
(para pelajar) terhadap ilmu pengetahuan dan guru, Sayidina 'Aly -radiAllahu
'anhu- ada pernah berkata : "Aku adalah seorang hamba dari pada
guru yang telah pernah mengajariku meski satu huruf, jika mau (bisa saja)
aku dijualnya, dan jika mau (bisa saja) dia menguasaiku".
Berkenaan dengan sikap hormat
ini, aku telah menggubah sebuah sya'ir :
رَأَيْتُ أحَقَّ الحَــقَّ حَــقَّ الْمُعَلِّمِ :: وَأَوْجَـــبَهُ حِفْظًا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
لَقَدْ حَقَّ أنْ يُهْدَى إلَيْهِ كَرَامَةً :: لِتَعْلِيْمِ حَرْفِ وَاحِدٍ ألْفَ دِرْهَمٍ
Aku melihat sebuah kebenaran yang paling benar dengan sebenar-benar kebenaran sepertimana kebenaran sang guru :: Ialah dia yang telah menekankan kebenaran itu untuk supaya aku jaga atas setiap muslim
Sungguh benar jika kepadanya dianugerahkan label
kemuliaan :: oleh sebab pengajaran satu huruf saja harus di balas dengan seribu
dirham.
Maka, orang yang telah mau
mengajarimu satu huruf sesungguhnya dialah yang kau butuhkan dalam urusan
agama, dialah bapakmu yang sebenarnya dalam urusan agama.
Dan adalah Syekh Imam
Sadiduddin Asy-Syaerazi menceritakan : guru-guru kita berkata "Siapa
yang mau agar kelak anaknya pintar ('alim), hendaknya dia menaruh perhatian
besar terhadap para fuqaha, harus memuliakan mereka, memberi makan mereka,
loyal sepenuh hati dengan mau menta'tati fatwa-fatwa mereka, lalu jika kelak
ternyata anaknya tak cukup 'alim (pintar), mudah-mudahan kelak cucunya yang
menjadi 'alim".
Termasuk dalam penghormatan
kita terhadap seorang guru ialah tidak sekali-kali mendahuluinya saat berjalan
dengan guru, tidak mengawalinya saat berbicara kecuali dengan meminta izin
sebelumnya serta tidak banyak bicara di sisinya, tidak diperkenankan
bertanya/menyangkal ketika kita merasa bosan/jenuh dengan pembicaraannya,
hendaknya kita biarkan sejenak untuk sesaat, tidak mengaburkan tema
pembicaraan, justru dianjurkan menajamkan pembicaraan hingga dia sendiri (sang
guru) keluar dari tema yang dibicarakan.
Kesimpulannya : seorang pelajar
haruslah senantiasa mencari ridhonya, menjauhkan diri mengundang kebenciannya,
menuruti perintah/anjurannya selama hal itu tidak berimplikasi terhadap
penentangan (maksiyat) kepada Allah SWT, sesungguhnya tiada ta'at (loyal)
sedikitpun kepada makhluq untuk berlaku maksiyat kepada sang Khaliq (Allah SWT)
sebagaimana hal itu pernah disabdakan Nabi SAW : "Sesungguhnya seburuk-buruk
manusia adalah seorang yang menghilangkan nilai-nilai agamanya karena (loyal
terhadap) dunianya untuk berlaku maksiyat kepada Tuhannya". Al-Hadits.
Dan termasuk penghormatan (kita
dan para pelajar) kepada sang guru adalah menghormati anak-anaknya dan
orang-orang yang masih ada hubungan dengannya.
Adalah guru kita, syaekhul
Islam Burhanuddin pengarang kitab "al-Hidayah" -rahimahullahu
'alayhi- pernah menceritakan : "Bahwasannya ada seseorang dari
kalangan para Imam di daerah Bukhara tengah duduk-duduk di suatu majlis
pengajaran, lalu di tengah pengajarannya itu terkadang beliau berdiri, lalu
para muridnya memberanikan diri untuk bertanya (tentang hal itu), lalu
beliau menjelaskan "Sesungguhnya salah satu putra guruku tengah bermain
bersama anak-anak sebayanya di halaman itu, dan kadang-kadang (dalam
permainannya tersebut) sampai lah anak itu ke pintu masjid ini, maka tatkala
aku melihatnya aku pun berdiri karenanya sebagai sikap ta'dziemku kepada sang
guru" ".
Sedangkan al-Qadi al-Imam
Fakhruddin al-Arsabandy, beliau adalah kepala Imam Maru, dan adalah penguasa
(sulthan) senantiasa memuliakannya sepenuh hati seraya berkata : "Hanyasannya
saya mendapatkan kedudukan ini demi untuk melayani sang guru, sungguh aku
pelayan guruku, al-Qadi Abu Zaid ad-Dabuusi, dan aku melayaninya dan menyiapkan
makanannya [selama kurun tiga puluh tahun] dan aku tak pernah berani mencicipi
makanan itu sedikitpun".
Adalah Syekh Imam yang agung,
mentarinya para Imam, yaitu al-Halwani -rahimahullahu alayhi- suatu hari
beliau hendak keluar (pergi) dari Bukhara menuju suatu tempat untuk suatu
kebutuhan yang terjadi pada diri beliau hingga pun beliau memutuskan untuk
menginap/bermalam di salah satu pedasaan untuk beberapa hari kedepan, lalu di
sana para muridnya berdatangan berbondong-bongdong mengunjungi beliau kecuali
Syekhul-Imam, al-Qadi Bakar ibn Muhammad Az-Zarnuji -rahimahullahu 'alayhi-
kemudian beliau (al-Halwani) berkata saat beliau menemuinya seraya bertanya :
"Mengapa engkau tidak datang mengunjungiku ?", al-Qadi menjawab
: "Aku tengah sibuk mengurusi persalinan/kelahiran anakku"
jawabnya, lalu al-Halwani berkata lagi : "Engkau diberi rizqi dengan bertambah
usiamu, namun kau tak diberi rizqi dengan keindahan ilmumu". Dan
begitulah seharusnya, maka sesungguhnya di setiap kali beliau menetap/menginap
di banyak pedasaan dan beliau tak lagi ada pengajaran saat itu. Dan barang
siapa telah pernah menyakiti gurunya, maka haramlah baginya keberkatan ilmu dan
baginya tak ada kemanfaatan ilmu yang telah dirahnya itu kecuali hanya sedikit
saja.
إنَّ الْـمُــــعَلِّمَ وَالطَّـبِـــــيْبَ كِـلَاهُـــــمَا :: لَا يُنَصِّــحَـانِ إذَا هُـمَا لَمْ يُكْــرَمَا
فَاصْبِرْ لِدَائِكَ إنْ جَفَوْتَ طَبِيْبَهُ :: وَاقْنَعْ بِجَهْلِكَ إنْ جَفَوْتَ مُعَلِّمَا
Sebenarnya, seorang guru dan seorang dokter, keduanya itu :: takkan sudi memberi nasihat (resep) jika keduanya tak di hormati
Maka terima saja penyakitmu, bila kau berani acuhkan (resep)
sang dokter :: dan terimalah kebodohanmu, bila kau berani sangkal (nasihat) sang
guru.
Dikisahkan, bahwasannya
Khalifah Harus Rasyied ada pernah mengirim putranya kepada al-Ashmu'ie untuk
agar putranya itu diajarkan ilmu dan adab, suatu hari sang Khalifah melihat
sang guru (al-Ashmu'ie) tengah berwudhu, membasuh kakinya, sedang putranya
mengucurkan air untuk pembasuhan kaki sang guru tersebut, lalu sang Khlifah
mencaci guru itu, al-Ahmu'ie (tentang hal yang dilihatnya itu), seraya berkata
: "Hanyasannya saya mengirim putraku kepada anda itu hanya untuk supaya
anda mau mengajari dia ilmu dan adabnya supaya menjadi baik, lalu mengapa anda
tak melakukannya sendiri untuk sekalian mengucurkan air dengan salah satu
tangan anda, dan membasuhnya dengan tangan anda yang lain untuk basuhan
kaki anda sendiri ?".
Termasuk bagaimana cara (para
pelajar) mengagungkan/memuliakan ilmu pengetahuan ialah harus dengan memuliakan
buku-buku dan atau kitab-kitab, ketika mengambil buku hendaknya seorang pelajar
dalam keadaan berwudlu (tidak berhadats).
Diceritakan dari Syekh
mentarinya para Imam, al-Halwani -rahimahullahu 'alayhi- bahwasannya
beliau menasihatkan : "Aku peroleh banyak ilmu pengetahuan itu
sesungguhnya dengan cara pengagunganku yang besar terhadap buku-buku ilmu
pengetahuan, aku tak pernah mengambil/membawa kitab kecuali dengan keadaanku
suci (tak berhadats)".
Sedangkan guru kita, mentarinya
banyak panutan, As-Sarkhasy, pada suatu malam beliau membathin, dan beliau
terlihat mengulang-ulang wudlu di malam itu hingga terulang tujuh belas kali,
mengapa ?, karena sesungguhnya beliau tak bisa mengulangi pelajaran kecuali
dalam keaadaan suci (tak berhadats), demikian itu karena -menurut beliau-
sesungguhnya ilmu itu nur (cahaya), sedang wudlu adalah nur (cahaya), maka
bertambah memancarlah nur ilmu itu manakala harus ditempuh dengan keadaan berwudlu.
Termasuk bagaimana seharusnya
(para pelajar) mengagungkan/memuliakan para guru ialah mereka jengan
sekali-kali melangkahkan kaki melewati kitab, dan menempatkan/meletakkan kitab
tafsir diatas semua kitab [karena memuliakannya], dan tidak membawa sesuatu
yang lain atas kitab tafsir tersebut.
Adalah guru kita, syekh
Burhanuddin -rahimahullahu 'alayhi- pernah menceritakan sebuah kisah
dari para gurunya : "Bahwasannya dulu ada seorang faqih pernah
menaruh/meletakkan sebuah bejana tinta diatas kitab, maka beliau ditegur oleh
gurunya (dengan bahasa Persi) "Celaka kamu !!",".
Dan adalah guru kita, al-Qadi
al-Imam yang agung Fakhruddin yang populer dengan julukan "Qadi Khan"
-rahimahullahu 'alayhi- pernah berkata : "Manakala seseorang
telah meremehkan hal itu, yah tak apalah, namun sebaiknya kita harus menjaga
diri dari sikap-sikap kehinaan tersebut".
Termasuk bagaimana seharusnya
(para pelajar) memuliakan ilmu, ialah memperbaiki /membagusi cara-cara penulisan
sebuah tulisan (catatan), tidak menulisnya secara kecil-kecil, dan juga
meninggalkan/membuat catatan-catatan kecil -maksudnya- ketika diperlukan secara
mendesak.
Imam Abu Hanifah -rahamatullah-
pernah melihat suatu kitab (buku) yang di dalamnya banyak terurai
catatan-catatan kecil, kemudian beliau berkata : " Jangan kau bikin tulisanmu tidak jelas, sedang kau
kalau ada umur panjang akan hidup menyesal, dan jika mati akan dimaki, Maksudnya,
jika kau semakin tua dan matamua rabun, akan menyesali perbuatanmua sendiri itu".
Ada sebuah cerita dikisahkan dari Syekh Imam Majduddin
ash-Sharkhakiy, yang menceritakan :
"Kami menyesali tulisan yang tidak jelas, catatan kami yang pilih-pilih
dan pengetahuan yang tidak kami bandingkan dengan kitab lain".
Sebaiknya format kitab itu
persegi empat, sebagaimana format itu pulalah kitab-kitab Abu Hanifah. Dengan
format tersebut, akan lebih memudahkan jika dibawa, diletakkan dan di muthalaah
kembali.
Sebaiknya pula jangan ada warna
merah didalam kitab, karena hal itu perbuatan kaum filsafat bukan ulama salaf.
Lebih dari itu ada diantara guru-guru kita yang tidak suka memakai kendaraan
yang berwarna merah.
Termasuk bagaimana (para
pelajar) mengagungkan ilmu pengetahuan ialah harus memuliakan teman/sahabat
[teman sepembelajaran] dan juga orang-orang yang tengah menimba ilmu. Bercumbu
rayu itu merupakan sifat tercela kecuali dalam pembelajaran.
Bercumbu rayu dengan para guru
dalam hal belajar juga sebaiknya dilakukan oleh para pelajar, juga kepada semua
teman/sahabat sepembelajaran, funginya untuk mencari dan berusaha memahami
materi belajar di kalngan para pelajar.
Dan bagi pelajar juga sebaiknya
mendengarkan betul-betul dan memperhatikan secara seksama akan ilmu dan hikmah
dengan cara ta'dziem dan penuh penghayatan, sekalipun harus diulang seribu kali
untuk satu masalah ilmu.
Dikatakan : Siapa yang tak
memuliakan ilmu pengetahuan setelah diulang hingga seribu kali seperti
memulikannya sebagaimana sedia kala, maka orang tersebut tak layak disebut ahli
ilmu (menyandang ilmu pengetahuan).
Sebaiknya bagi seorang pelajar
untuk tidak memilih satu macam ilmu, justru seharusnya dia menyerahkan
sepenuhnya kepada sang guru (biarlah guru saja yang memilihkannya), karena
sesungguhnya guru itu sebagai satu faktor terbukanya ilmu pengetahuan, maka
sebaiknya pelajar mengetahui masing-masing dan apa saja yang sepatutnya dengan
tabi'atnya.
Dan adalah Syekh Imam yang
agung, al-ustadz Burhanul-Haq wad-Din -rahimahuallahu 'alayhi- berkata :
"Di masa-masa awal pembelajaran para pelajar sebaiknya menyerahkan
sepenuhnya kepada para guru dalam segala urusan, sebab para gurulah yang berhak
menyampaikan kepada para pelajar apa yang menjadi maksud dan tujuan
pembelajaran, dan sekarang para pelajarlah yang memilih sendiri apa yang
sepatutnya mereka pelajari, para guru tak lagi mendampingi dan menyampaikan
maksud dan tujuan pembelajaran, apa itu ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu
fiqh secara khusus".
Ada suatu cerita bahwasannya Muhammad ibn Isma'iel al-Bukhari,
(yaitu yang populer dengan sebutan Imam Bukhari) -rahimahullah 'alayhi-
adalah seorang pelajar yang mengawalinya menulis bab shalat di hadapan gurunya,
yaitu Muhammad ibn al-Hasan -rahimahullah 'alayhi-, kepada Imam Bukhari,
lalu gurunya itu berkata : "Pergilah dan pelajarilah ilmu hadits",
karena rupanya gurunya itu memandang bahwa ilmu hadits inilah yang lebih cocok
pada kepribadian muridnya itu, Imam Bukhari. Maka sejak itu, Imam Bukhari
menungkuli ilmu hadits dan menjadilah beliau -seperti terlihat sekarang ini-
sebagai salah seorang ulama terkemuka dibidang hadits.
Dan -yang harus diperhatikan
oleh para pelajar- sebaiknya tidak duduk secara berdekatan dengan gurunya
saat berhadapan kecuali ada alasan yang jelas, justru sebaiknya antara murid
dan guru itu mengambil jarak kira-kira sejauh lingkaran busur, demikianlah jarak
yang paling ideal antara keduanya sebagai bentuk memuliakan guru.
Sebaiknya juga seorang pelajar
untuk bisa menjaga diri dan menjauhi dari akhlaq tercela, sebab akhlaq tercela
itu bisa diartikan laiknya sebagai anjing, Rasulullah SAW bersabda : "Para Malaikat takkan pernah mau memasuki rumah
seseorang selama di dalam rumah itu ada anjing dan lukisan/gambar hidup".
Sementara, seseorang itu tak bisa menimba ilmu kecuali harus dengan pelantaraan
Malaikat.
Akhlaq tercela dapat dipelajari
(diketahui) di banyak kitab akhlaq, sedangkan di kitab ini tak cukup banyak di
bahas.
[Sebisa mungkin menjauhinya]
terkhusus seperti sifat takabbur (sombong), sebab dengan sifat takabbur ini
seorang pelajar takkan bisa mencapai/berhasil mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dikatakan : Ilmu itu sangat tak
berkenan [kepada seorang pemuda] yang bersikap tinggi hati (sombongkan diri)
sebagaimana ketidak berdayaan aliran air yang takkan bisa menjangkau
tempat-tempat yang tinggi.
<<>>
فصل
فى تعظيم العلم وأهله
اعلم أن طالب
العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله، وتعظيم الأستاذ
وتوقيره.
قيل : ما وصل من وصل إلا بالحرمة، وما
سقط من سقط إلا بترك الحرمة .
وقيل : الحرمة خير من الطاعة، ألا ترى
أن الإنسان لا يكفر بالمعصية، وإنما يكفر باستخفافها ، وبترك الحرمة.
ومن تعظيم العلم تعظيم الأستاذ، قال على
رضى الله عنه: أنا عبد من علمنى حرفا واحدا، إن شاء باع، وإن شاء استرق .
وقد أنشدت فى ذلك :
رأيت
أحــق الحق حــق المعـــلم وأوجـبه
حفظا على كل مسلم
لقد
حق أن يهدى إليه كرامة لتعليم حرف
واحد ألف درهم
فإن من علمك حرفا واحدا مما تحتاج إليه
فى الدين فهو أبوك فى الدين.
وكان أستاذنا الشيخ الإمام سديد الدين
الشيرازى يقول: قال مشايخنا: من أراد أن
يكون ابنه عالما ينبغى أن يراعى الغرباء من الفقهاء، ويكرمهم ويطعمهم ويطيعهم
شيئا، وإن لم يكن ابنه عالما يكون حفيده عالما.
ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه، ولا
يجلس مكانه، ولا يبتدئ بالكلام عنده إلا بإذنه، ولا يكثر الكلام عنده، ولا يسأل
شيئا عند ملالته ويراعى الوقت، ولا يدق
الباب بل يصبر حتى يخرج الأستاذ.
فالحاصل: أنه يطلب رضاه، ويجتنب سخطه، ويمتثل
أمره فى غير معصية لله تعالى، فإنه لا طاعة للمخلوق فى معصية الخالق كما قال النبى صلى الله عليه وسلم: إن شر الناس
من يذهب دينه لدنيا بمعصية الخالق .
ومن توقيره: توقير أولاده ومن يتعلق به.
وكان أستاذنا شيخ الإسلام برهان الدين
صاحب الهداية رحمة الله عليه حكى: أن واحدا من أكابر الأئمة بخارى كان يجلس مجلس
الدرس، وكان يقوم فى خلال الدرس أحيانا فسألوا عنه, فقال: إن ابن أستاذى يلعب مع
الصبيان فى السكة، ويجيئ أحيانا إلى باب المسجد، فإذا رأيته أقوم له تعظيما
لأستاذى .
والقاضى الإمام فخر الدين
الأرسابندى كان رئيس الأئمة فى مرو وكان السلطان يحترمه غاية الاحترام وكان يقول:
إنما وجدت بهذا المنصب بخدمة الأستاذ فإنى كنت أخدم الأستاذ القاضى الإمام أبا زيد
الدبوسى وكنت أخدمه وأطبخ طعامه [ثلاثين
سنة] ولا آكل منه شيئا.
وكان الشيخ الإمام الأجل شمس الأئمة
الحلوانى رحمة الله عليه قد خرج من بخارى
وسكن فى بعض القرى أياما لحادثة وقعت له وقد زاره تلاميذه غير الشيخ الإمام شمس
الأئمة القاضى بكر بن محمد الزرنجرى رحمه
الله تعالى، فقال له حين لقيه: لماذا لم تزرنى؟ قال: كنت مشغولا بخدمة الولادة.
قال: ترزق العمر، لاترزق رونق الدرس، وكان كذلك، فإنه كان يسكن فى أكثر أوقاته فى
القرى ولم ينتظم له الدرس . فمن تأذى منه أستاذه يحرم بركة العلم ولا ينتفع بالعلم
إلا قليلا.
إن
الـمـعلم والطـبيب كـلاهـما :: لا ينصحـان إذا
هـما لم يكــرما
فاصبر
لدائك إن جفوت طبيبه :: واقنع بجهلك إن جفوت معلما
حكى أن الخليفة هارون راشيد بعث ابنه
إلى الأصمعى ليعلمه العلم والأدب فرآه
يوما يتوضأ ويغسل رجله، وابن الخليفة يصب الماء على رجله، فعاتب الأصمعى [فى ذلك]
بقوله : إنما بعثت إليك لتعلمه وتؤدبه فلماذا لم تأمره بأن يصب الماء بإحدى يديه،
ويغسل بالأخرى رجلك ؟
ومن تعظيم العلم : تعظيم الكتاب، فينبغى
لطالب العلم أن لا يأخذ الكتاب إلا بطهارة.
وحكى عن الشيخ شمس الأئمة الحلوانى رحمه
الله تعالى أنه قال: إنما نلت هذا العلم بالتعظيم، فإنى ما أخذت الكاغد إلا بطهارة.
والشيخ الإمام شمس الأئمة السرخسى كان مبطونا
فى ليلة، وكان يكرر ، وتوضأ فى تلك الليلة سبع عشرة مرة لأنه كان لا يكرر
إلا بالطهارة، وهذا لأن العلم نور والوضوء نور فيزداد نور العلم به.
ومن التعظيم الواجب للعالم أن لا يمد
الرجل إلى الكتاب ويضع كتاب التفسير فوق سائر الكتب [تعظيما] ولا يضع شيئا آخر على
الكتاب.
وكان أستاذنا الشيخ برهان الدين رحمه
الله تعالى يحكى عن شيخ من المشايخ: أن فقيها كان وضع المحبرة على الكتاب، فقال له
[بالفارسية]: برنيايى .
وكان أستاذنا القاضى الإمام الأجل فخر
الدين المعروف بقاضى خان رحمه الله تعالى
يقول: إن يرد بذلك الاستخفاف فلا بأس بذلك والأولى أن يحترز عنه.
ومن التعظيم: أن يجود كتابة الكتاب ولا
يقرمط ويترك الحاشية إى عند الضرورة.
ورأى أبو حنيفة رحمه الله تعالى كتابا
يقرمط فى الكتابة فقال: لا تقرمط خطك، إن عشت تندم وإن مت تشتم. يعنى إذا شخت وضعف
نور بصرك ندمت على ذلك .
وحكى عن الشيخ الإمام مجد الدين الصرخكى
، حكى أنه قال: ما قرمطنا ندمنا، وما انتخبنا ندمنا، وما لم نقابل ندمنا.
وينبغى أن يكون تقطيع الكتاب مربعا،
فإنه تقطيع أبى حنيفة رحمه الله تعالى، وهو أيسر على الرفع والوضع والمطالعة .
وينبغى أن لا يكون فى الكتابة شيئ من
الحمرة، فإنه من صنيع الفلاسفة لا صنيع السلف، ومن مشايخنا كرهوا استعمال
المركب الأحمر.
ومن تعظيم العلم: تعظيم الشركاء [فى طلب
العلم والدرس] ومن يتعلم منه. والتملق مذموم إلا فى طلب العلم .
فإنه ينبغى أن يتملق لأستاذه وشركائه ليستفيد
منهم .
وينبغى لطالب العلم أن يستمع العلم
والحكمة بالتعظيم والحرمة، وإن سمع مسألة واحدة أو حكمة واحدة ألف مرة.
وقيل: من لم يكن تعظيمه بعد ألف مرة
كتعظيمه فى أول مرة فليس بأهل العلم.
وينبغى
لطالب العلم أن لا يختار نوع العلم بنفسه، بل يفوض أمره إلى الأستاذ، فإن الأستاذ
قد حصل له التجارب فى ذلك، فكان أعرف بما ينبغى لكل واحد وما يليق بطبيعته.
وكان الشيخ الإمام الأجل الأستاذ برهان
الحق والدين رحمه الله تعالى يقول:
كان طلبة العلم فى الزمان الأول يفوضون
أمرهم فى التعلم إلى اساتذهم، وكانوا يصلون إلى مقصودهم ومرادهم، والآن يختارون
بأنفسهم، فلا يحصل مقصودهم من العلم والفقه.
وكان يحكى أن محمد بن إسماعيل
البخارى رحمه الله تعالى كان بدأ بكتابة
الصلاة على محمد بن الحسن رحمه الله، فقال له محمد بن الحسن: إذهب وتعلم علم
الحديث، لما روى أن ذلك العلم أليق بطبعه، فطلب علم الحديث فصار فيه مقدما على
جميع أئمة الحديث .
وينبغى لطالب العلم أن لايجلس قريبا من
الأستاذ عند السبق بغير ضرورة، بل ينبغى أن يكون بينه وبين الأستاذ قدر القوس فإنه
أقرب إلى التعظيم.
وينبغى لطالب العلم أن يحترز عن الأخلاق
الذميمة، فإنها كلاب معنوية، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تدخل
الملائكة بيتا فيه كلب أو صورة . وإنما يتعلم الإنسان بواسطة ملك.
والأخلاق الذميمة تعرف فى كتاب الأخلاق
وكتابنا هذا لا يحتمل بيانها.
[وليحترز] خصوصا عن التكبر ومع التكبر
لا يحصل العلم.
قيل:
العلم حرب [للفتى] المتعالى كالسيل حرب للمكان العالى
Tidak ada komentar:
Posting Komentar