Selasa, 22 Desember 2015

Makna Bahagia

by  Hana M  (30 September 2015)

Bismillaahir--RahmaanirRahiiem

Bahagia itu pada dasarnya fenomena mental manusia. Sifatnya metafisik; dibalik fisik/materi. Sentimennya lebih dekat pada naluri ketimbang nalar. Jadi sesungguhnya mustahil bagi manusia menggambarkan "bahagia" dalam simbolisasi benda/fisik/materi. Lagipula, benda/fisik/materi apa yg bisa merepresentasikan kebahagiaan manusia secara utuh? Tentu saja tidak ada.
So, mari ubah ukuran dan "tampilan" bahagia dari bentuk "how to get" yang materialistik menjadi "how to be" yang lebih spiritual.

"Menjadi sesuatu" tentu saja memiliki level yang lebih tinggi dibandingkan "mendapatkan sesuatu", karena "menjadi sesuatu" selalu terkait dengan apresiasi dan kepuasan lintas individu yang lebih luas-yang merasakan langsung manfaat dari ekspresi kebahagiaan yg kita miliki secara pribadi. Sebaliknya, kebahagiaan dengan ukuran "telah mencapai atau mendapatkan sesuatu", biasanya bersifat individual dan sangat dekat dengan "narsisisme". Usaha mencintai diri sendiri secara berlebihan.


Contoh sederhana, bagaimana mungkin kita bisa disebut bahagia hanya karena kita berhasil mendapatkan coklat Belgia yang mahal misalnya; sementara banyak orang bahkan tidak mampu membeli coklat murah ?. Memang, conto ini pun bisa juga disebut sebagai bahagia. Tetapi sifatnya utopis, tidak nyata; karena hanya terdapat dalam alam nalar/khayalan sang "peraih coklat".

Kebahagiaan yg "nyata" adalah kemampuan kita "berbagi" resep sederhana membuat coklat dari bahan yang murah, tetapi dengan kualitas rasa yang tidak kalah dari coklat Belgia yang mahal. Bagaimana ini bisa disebut sebagai "yang nyata" sedangkan contoh sebaliknya justru "yang utopis"? Karena berbagi sesuatu dapat diukur oleh parameter kebahagiaan banyak orang di luar kita, sedangkan beli coklat dan makan sendiri tidak akan pernah bisa diukur/dirasakan oleh orang lain.

Demikian, wAllahu Alamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar