Jumat, 18 Desember 2015

Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid

Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiiem


Di desa tercinta, Tegalgubug, lagi hangat membicarakan tentang masalah “Boleh tidaknya seorang wanita haid berdiam di masjid (al-Muktsu fil-Masjid) dalam rangka aktivitas ta’allum/dirasah (kegiatan pembelajaran)”, untuk sementara pandangan para Kiyai di Tegalgubug (termasuk Kiyai Khos “Abah Inu” ahli hadits dari Arjawinangun) membolehkannya -tanpa kita tahu metodologi istinbath beliau-, masalah ini berlatar belakang bahwa di tegalgubug saat ini tengah bergairah mengadakan pembelajaran diniyyah di masjid, di sana ada banyak para pelajar dan adik-adik kita yang mengikuti kegiatan di maksud, lelaki dan perempuan. Maka timbullah masalah dimaksud.

Sementara disisi lain kalau kita merujuk pada litaratur fiqh klasik yang ada (kitab kuning) memang beragam pula kenyataan pandangan di sana, jumhur ulama cenderung tidak boleh (harom), namun pandangan-pandangan tersebut belum sampai ke level ittifaq/ijma’, sebab pada faktanya ada juga beberapa ‘ulama fiqh yang membolehkannya (tentang pandangan ini, insya Allah akan diperjelas sesaat lagi), ilatnya jelas karena pertama lit-Talwiets (kemungkinan mengotori masjid) dan kedua lit-Tahriem (lebih karena memuliakan masjid), alasan pertama hujjahnya adalah qiyas terhadap junub, karena memang tentang tema ini (wanita haid berdiam di masjid) tak ada dalil yang sahih lagi sharih kecuali memang harus dengan cara qiyas kepada junub, nah, maka wanita haid dalam soal ini diqiyaskan kepada seorang yang memiliki jinabah/hadats besar, dalilnya antara lain :


Pertama QS an-Nisa 43


لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ

Kedua, hadits ‘Aisyah riwayat Abu Daud, yaitu :

قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : لَا أحِلُّ فِي المَسْجِدِ لِحَائِضٍ وَلاَ جُىُبٍ. رواه أبو دوود من حديث عائشة رضي الله عنها

Rasulullah SAW bersabda : “Aku tidak mengizinkan masjidku ini didiami oleh wanita haid dan tidak pula bagi seorang junub”. HR Abu Daud dari jalur ‘Aisyah RA,
namun sayangnya hadits ini dinilai dhaif lantaran beberapa perawinya majhul, dg demikian hadits ini tdk bisa dibuat hujjah.

<<>>

Namun secara luas, ada dalil-dalil umum, misalnya Nabi SAW bersabda “AL-MUSLIMU LA YANJUS” = Seorang muslim itu keberadannya tidaklah najis,. Sabda Nabi ini dinyatakan kpd sahabat Abu Huraerah RA yg saat itu tengah berjinabah lalu berpapasan dg Rasulullah SAW, sahabat Abu Huraerah tak berani mendekati Rasulullah seraya berkata/beralasan “Maaf ya Rasul, aku tak berani menhampirimu/berdekatan dg mu sedang aku lagi berjunub”, lalu krn itulah kemudian Rasulullah SAW menyabdakan itu.


fakta lain, bahwa ‘Aisyah RA, salah satu istri Rasul pernah di seru untuk mengambilkan handuk oleh Nabi di masjiidnya, ‘Aisyah berkilah bhw dirinya tengah haid, lalu Rasulullah bersabda : INNA HAIDHOTAKI LAYSAT FI YADDIKI = “Haidmu itu bukan di tanganmu” , lalu ‘Aisyah bergegas menuju masjid dengan mengambilkan handuk Nabi kemudian membawanya kpd Nabi.

di kali lain, Rasulullah SAW juga pada faktanya ada pernah menerima seorang kafir yg junub masuk ke dalam masjidnya (alhasil kemudian si kafir ini masuk islam di hadapan Rasulullah SAW), maka berdasarkan fakta ini, Imam Muzani RA, sahabat karib Imam Syfi’ie RA menyimpulkan “Jika seorang kafir saja boleh berdiam di masjid, maka lebih-lebih seorang muslim”, begini nashnya “Fainnal-Muslim ‘indal-Junub Aula minal-Kafir”, kemudian nash inilah yg menjadi tendensi Imam Nawawi -mujtahid fatwa lisy-Syafi’ie- berkali-kali mengutip pendapat seniornya tersebut (lihat al-Majmu’). Bahkan dalam kitab ini, Imam Nawawi menegaskan “LAYSA LIMAN HARUMA HADIITSUN SAHIHUN SHARIHUN” bahwa “Orang yg berpendapat haramnya wanita haid berdiam diri di masjid itu tak berdasarkan hadits sahih dan sharih”, bahwa tak satupun di temukan dlm hadits2 sahih lagi sharih menjelaskan larangan tersebut. Demikian Imam Nawawi RA

Lihat juga pada hadits Bukhari riwayat ‘Aisyah RA, di mana Rasulullah SAW ada pernah menerima seorang budak wanita (Walidah) yg tengah haid, bahkan si wanita ini -krn disinyalir sbg tuna wisma- maka oleh Nabi diizinkan mendiami masjid cukup lama hingga membuat tenda kecil (khiba/khaimah) di dalamnya, maka berdasakna fakta ini pula, Imam Ibnu Hazm (dari madzhab Dzahiri) membenarkan bolehnya wanita haid berdiam di masjid.

Ibnu Qudamah (salah seorang Imam besar bermadzhab Hanbaly) juga membolehkannya berdasakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad tetapi dg mensyaratkan hrs memiliki wudhu lihurmatil-masjid, lihat Al-Mughniy.

Juga Imam Asy-Syaukani dari kalangan madzhhab Syi’ah Zaidiyyah juga membolehkannya, lihat Naelul-Authar Lisy-Syaukani.

<<>>

Kembali ke fatwa lisan Abah Inu (muhaddits kenamaan asal Arjawinangun) sbgmn saya jelaskan dimuka, yah, benar sekali pernyataan beliau itu, saya pun lebih cenderung kpd pandangan beliau tsb, inSya Allah lebih mendekati kebenaran.

wAllahu A’lamu, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar