Senin, 16 Desember 2013

Refleksi tematik : Karakteristik Paradigma Akhlaq


Refleksi tematik : “Karakteristik Paradigma Akhlaq
dalam buku :
DAHULUKAN AKHLAQ DIATAS FIQIH
By Jalaluddin rahmat

Bismillahir-Rahmaanir-Rahiiem.

Bicara soal paradigma islam, maka seharusnya kerangka dan cara pandang kita tentunya harus berorientasi kepada suatu penalaran yang merujuk kepada fakta akan teks-teks keislaman itu sendiri atau sumber-sumber referensi islam sebagai dasar pengembangannya, maka seharusnyalah kita mengembalikan hal itu kepada fakta nash-nash al-Quran dan atau al-Hadits sebagai prinsip-prinsip dasar dalam mengikuti perilaku sunnah Rasulullah saw secara konprehensif [1], fakta inilah paling tidak, mind-set dan atau cara pandang kita dalam pada menelisik kembali dari yang terdapat dalam kedua sumber rujukan tersebut untuk disetiap kali kita hendak membedah atau sekedar mensiasati dalam menghadapi suatu permasalahan yang berkembang menyangkut keberagamaan kita, yakni agama islam.

Maka untuk membicarakan akhlaq sebagai satu kesatuan secara integral dalam pada trilogi ajaran agama, maka sebisa mungkin simpulannya harus ditarik secara vertikal antara lain kepada satu hadits Rasulullah saw, yaitu riwayat sahih dari jalur Abu Huraerah radiallahu ‘anhu [2], sebagai pijakan awal didalam kita hendak mengawali dan mengembangkan satu kajian/pemikiran besar dalam konsep-konsep pengembangan agama, pada cakupan tema karakteristik paradigma akhlaq.

Hadits riwayat Abu Haraerah yang saya kemukakan di sini ialah sebagai bentuk manifestasi kita (umat islam) dalam pada mengamalkan/merealisasikan tiga konsep ajaran agama dalam sekaligus mengiringi perjalanan keseharian kita, dimana ketiga konsep ini tertuang pada hadits riwayat Abu Huraerah yang sangat populer itu, ialah sebagai bentuk pengamalan kita akan konsep Iman dan konsep Islam disatu sisi sebagai landasan dan pijakan awal yang harus kuat pada diri setiap muslim dalam suatu pengamalan yang benar-benar kokoh, dan disisi lain kita juga harus mengembangkannya dengan konsep Ihsan sebagai pelengkap dan penghias diri akan mengiringi dua konsep ajaran sebelumnya, yakni konsep iman dan islam.

Dalam hadits itu, pada dasarnya merupakan tiga konsep ajaran atau sebagai satu kesatuan landasan agama yang utuh dan konprehensif sebagai trilogi ajaran agama (ad-din) yang tak bisa dipisakan satu dengan lainnya, adalah  Rasulullah saw mengawalinya dengan konsep ajaran  iman  yang lurus (hanief) kepada Allah swt, yang kemudian dari ajaran ini kelak lahirlah konsep AQIDAH yang kuat, lalu yang kedua dari ajaran agama dalam terminologi hadits ini,  Rasulullah saw juga kembali menegaskan akan pentingnya ajaran islam yang pada akhirnya dari ajaran ini juga melahirkan konsep SYARI’AH sebagai pijakan yang benar untuk mendasari kita dalam ber’ibadah dan bermu’amalah sesuai dengan yang dititahkan Tuhan via Rasul-Nya, Muhammad saw. Lalu dibagian akhir sebagai pelengkap, Rasulullah saw juga menyinggung ajaran Ihsan sebagai suatu keniscayaan yang harus ada dalam diri setiap muslim, yang dari sinilah nantinya lahir konsep AKHLAQ terpuji sebagai satu-satunya konsep yang bisa menghiasi perjalanan diri manusia dalam rangka mempertegas sikap keyakinan, ibadah dan mu’amalah seorang di keseharian pemeluknya, yakni sebagai ummat islam yang berlabel muslim yang mukmin, sekaligus muhsin.

Ketiga konsep ini, -yaitu AQIDAH, SYARI’AH dan AKHLAQ-, -sebagai ummat Nabi Muhammad saw- sedapat mungkin kita bisa mengemban dan memanifestasikannya untuk mengiringi perjalanan hidup di keseharian kita secara kontinue dan terus menerus, dengan demikian maka kelak akan diharapkan menjadi seorang yang paripurna (muslim, mukmin dan muhsin) bila dilihat dari sudut pandang secara manusia seutuhnya, sebab dalam hadits sahih yang lain, Rasulullah saw juga pernah menegaskan yang maksudnya kurang lebih begini ; “Manakala seseorang telah mampu mengamalkan satu dari tiga konsep ajaran agama sebagaimana diatas secara utuh dan benar, tanpa mengurangi sedikitpun atau menambahkan ajaran tersebut, maka orang itu berhak menyandang label ”sebagai seorang yang selamat” dan kelak dia dimasukkan kedalam surga-Nya” [3]. Subahanallah, begitu indah janji rasul kepadanya, tetapi oleh para ulama, hadits itu dimaknainya sebagai janji rasul yang tidak semata-mata diberikan kepada seorang badui dimaksud sebagaimaa termaktub dalam teks hadits saja, namun berlaku juga kepada ummat muslim secara keseluruhan sebagai jaminan bagi siapa pun yang bisa merealisasikan akan ajaran itu di kesehariannya, yakni ummat islam seluruhnya.

Baik, kembali ke topik dimana karakteristik paradigma akhlaq yang merupakan sebagai pusat perhatian (trend setter) dalam buku yang ditulis oleh seorang pakar islam asal Bandung, Jalaluddin Rahmat berjudul “Dahulukan Akhlaq Diatas Fiqih” ini, dimana tematik kajian akhlaq ini oleh penulisnya ditempatkan sebagai solusi terakhir dibanyak kasus yang terjadi di masyarakat islam dewasa ini. Trik ini memang ada benarnya, pada tema “tinggalkan fiqh demi persaudaraan” misalnya, ternyata beliau tidak asal bicara, justru penulisan beliau terasa efektif dan disajikan secara ellegan sebab hal ini didasarkan pada fakta impiris yang banyak terjadi dimasyarakat kita, mengiringi kasus waris misalnya dimana sebenarnya seorang anak laki-laki mendapat porsi yang lebih besar daripada seorang anak perempuan, ini menjadi tidak lagi faktual manakala akhlaq bisa di sajikan sebagai penengah dan terkadang harus didahalukan pada kasus yang biasanya dianggap pelik oleh sebagian kalangan ini.

Jalan keluar bagi seseorang -siapa pun dia- yang ada berusaha mendahulukan akhlaq ketimbang fiqih pada konteks waris, tentu akan lebih mudah menerapkan/merealisasikannya manakala diantara ahli waris yang lain juga ada saling pengertian yang terjalin menyertai pola pikir mereka yang moderat, dan tidak hanya itu, juga ada kerelaan satu sama sama lain dari masing-masing fihak meskipun ini terlihat agak janggal dan terkesan tidak mengikuti anjuran syari’ah sebagaimana pesan-pesan indoktrinal Tuhan dalam al-Quran. [4]

Atau pada kasus lain semisal dalam  tema “ikhtilaf sebagai peluang untuk kemudahan ummat”, memang dalam kasus yang satu ini, peranan akhlaq akan terasa lebih solutif bila kita sajikan dengan sebenar-benar sikap elegan demi kesatuan dan persatuan ummat. Hal ini juga banyak sekali teladan positif yang ditampilkan oleh para Imam  madzhab, Imam Syafi’ie rahimahullah misalnya, beliau tak pernah sekalipun menolak seseorang yang mengajaknya berhiwar (dialog untuk sharing ilmu) dan menggap hanya dirinyalah yang paling benar dari semua pandangan yang ada, dalam kitab Ihya, Imam Ghozali pernah menyitir pandangan Imam Syafi’ie rahimahullah : “Belum pernah satu kalipun aku menyalahkan pandangan orang lain yang meskipun pendapatku benar, tapi mungkin saja ada kekeliruan dalam pandanganku, dan meskipun pendapatmu memang keliru, tapi mungkin juga ada benarnya ”, begitulah sikap tawaddhu’ yang dikembangkan oleh Imam Syafi’ie. [5]

Dalam kitab I’anatut-Thalibin, ada kisah menarik menyangkut Imam Syafi’ie rahimahullah, tatkala beliau ditanya tentang satu masalah, beliau tak serta merta menjawab pertanyaan itu -hingga boleh jadi permasalahan itu akan menjerumuskannya terlibat dalam debat sengit yang tak berujung pangkal dan tak ada titik temu-, melainkan dengan sikap diam seribu basa dan tak banyak kata, lagi-lagi ini merupakan sikap elegan yang ditampilkan beliau  manakala temui ujian permasalahan menghinggapi dirinya. [6]

Kasus lain misalnya pada tema “Kesalehan diukur dengan Akhlaq”, banyak juga hadits-hadits nabi saw yang menyinggung soal ini, antara lain Syekh Nawawie Al-Jawie dalam kitab “Nashoihul-‘Ibad” yang merupakan pensyarah (komentator) kitab “Al-Munabbihat ‘Alal-Isti’daad Liyaumil-Ma’aad” karya Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, ada menyitir beberapa hadits, antara lain riwayat Imam Al-Khotieb : “Keburukan (akhlaq sayyi,ah) itu merupakan sifat tercela, sedang diantara kamu yang paling buruk ialah kamu yang paling bejat akhlaqnya”. Masih dalam kitab yang sama, Syekh Nawawie yang juga menjadi pionir ulama-ulama Snusantara, juga menyitir hadits lain riwayat Al-‘Askariy : bahwa “Akhlaq yang buruk itu bisa merusak (membatalkan) ‘amal sebagaimana merusaknya rasa cuka pada madu”, juga hadits lain : “Hamba-hamba Allah yang paling disukai-Nya ialah mereka yang paling baik perangai khlaqnya”. HR Imam Thabraniy. [7]

Tetapi -kalau saya boleh berpendapat- masih ada kekeliruan dann kekurangan di sana sini saat manakala mind-set akhlaq ini harus di perhadapkan pada kenyataan kasus-kasus yang lain, . wAllahu A’lamu Bish-Showaab

<<>>

Daftar Rujukan dan Referensi :

وحدّثني عن مالك أنّه بلغه أنّ رسول اللَّه صلّى اللّه عليه وسلّم قال : تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ. رواه مالك في الموطّا ص 371 من الجزء الخامس (مكتبة شاملة) ـ

Artinya : dan telah menceritakan kepadaku dari Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata ; telah sampai kepadanya bahwasannya Rasulullah saw bersabda ; “Telah aku tinggalkan dua perkara kepada kamu yang tidak akan tersesat selama kamu masih berpegang teguh dengan keduanya ; pertama kitabullah (al-Quran) dan kedua sunnah nabi-Nya (al-Hadits)”.

عن أبي هريرة قال كان النّبيّ صلّى اللَّه عليه وسلّم بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. رواه البخاري حديث رقم 48 ص 452 من الجزء الرابعة عشرة (مكتبة شاملة) ـ

Artinya : dari Abu Huraerah RA, ia berkata ; suatu hari hari Nabi saw pernah ngumpul-ngumpul bersama para sahabat, lalu tiba-tiba datanglah Jibril AS seraya bertanya kepada Rasulullah “apa itu iman ?”, Rasulullah saw menjawab : “Iman ialah kamu percaya kepada Allah swt, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan kamu percaya akan datangnya hari kebangkitan”, Jibril bertanya lagi : “Apa itu islam ?”, Rasulullah saw kembali menjawab : “Islam itu ialah kamu menyembah Allah dan tidak mensekutukan-Nya sedikitpun, kamu mendirikan shalat, memberikan zakat yang diwajibkan, dan kamu berpuasa di bulan Ramadhan”, lalu Jibril AS bertanya lagi : “Apa itu ihsan ?”, Rasulullah saw pun menjawabnya –untuk yang ketiga kalinya- : “Ihsan itu ialah Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu bisa melihat-Nya, dan jika ternyata dirimu tak kuasa melihat-Nya, maka yakinlah sesungguhnya Allah swt melihatmu”.

عن عبد اللّه بن عبّاس –رضي الله عنهما- أنّ ضِمام بن ثعلبة أخا بني سعد بن بكر لَمَّا أَسْلَمَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَائِضِ الْإِسْلَامِ مِنْ الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا فَعَدَّ عَلَيْهِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِنَّ ثُمَّ الزَّكَاةَ ثُمَّ صِيَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ حَجَّ الْبَيْتِ ثُمَّ أَعْلَمَهُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ وَسَأَفْعَلُ مَا أَمَرْتَنِي بِهِ لَا أَزِيدُ وَلَا أَنْقُصُ , قال ثمّ ولّى , فقال رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم : " إِنْ يَصْدُقْ ذُو الْعَقِيصَتَيْنِ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ ". رواه أحمد في المسند حديث رقم 2124 ص 174 من الجزء الخامس (مكتبة شاملة) ـ

Artinya : dari Abdullah bin ‘Abbas RA bahwasannya Dhimam bin Tsa’labah, yaitu saudaranya Bani Sa’ad bin Bakar, seketika ia memeluk islam lalu bertanya kepada Rasulullah tentang kewajiban-kewajiban dalam islam, yaitu shalat dan lain-lain, lalu Rasulullah saw menjelaskan kepadanya seraya menghitung kewajiban akan lima shalat –dalam sehari semalam- tidak lebih darinya, kemudian kewajiban berzakat, menjalani puasa dibulan Ramadhan, kemudian naik haji ke baitullah, lalu Rasulullah saw pun mengajarinya apa-apa yang terlarang baginya, lalu seusai Rasulullah saw mengajarinya, lalu dia berikrar dihadapan Rasulullah (dengan membaca dua kalimah syahadat) “Asyhadu An-Laa ilaaha Illa Allah, wa-Asyhadu Annaka Rasulullah”, “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa engkau adalah utusan dan pesuruh Allah”, dan akan saya laksanakan apa yang engkau serukan kepadaku, tidak akan saya melebih-lebihkannya, tidak pula saya menguranginya”, dan setelah dia berlalu dari hadapan Rasulullah saw, lalu Rasulullah bersabda –kepada sebagian para sahabat yang hadir ditempat- : “Jika dia benar apa yang dikatakannnya, maka dialah yang kelak berbahagia, dan dia berhak masuk surga”.

يُوصِيكمُ اللهُ في أَوْلادِكمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَينِ ... الأية من سورة النساء 11

Artinya :  Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ...". (QS. An-Nisa : 11)”

وقال الشافعي رضي الله عنه. ما ناظرتُ أحداً قط فأحببتُ أن يخطىء. وقال: ما كلمت أحداً قط إلا أحببت أن يوفق ويسدد ويعان ويكون عليه رعاية من الله تعالى وحظف، وما كلمت أحداً قط وأنا أبالي أن يبين الله الحق على لساني أو على لسانه. (انظر "إحياء علوم الدين" للغزالي ص 27 من الجزء الأوّل)

Berkata Imam Syafi’ie rahimahullah : “Belum pernah satu kalipun ketika aku bermunadzoroh (diskusi) dengan seseorang lalu di sana aku gemar menyalahkan pandangan orang tersebut”. Ia juga pernah berkata : “Belum pernah terlontar kata-kataku kepada seseorang kecuali aku gemar (suka) untuk mencari titik temu (persepakatan) diatantara beberapa persepsi, saling bantu untuk menemukan solusi, dan yang terjadi pada diri beliau justru adanya ri’ayah (pengawasan)dari Allah swt ”. dan katanya lagi “Dan belum pernah aku mengata-ngatai seseorang satu kalipun, dan aku tak perduli akan kejelasan (tabyin) akan kebenaran dari Allah swt itu datang dari lisanku atau justru via lisannya”.

وسُئل -اي الإمام الشافعي- رضي الله عنه عن مسألة فسكت، فقيل له : لم لا تجيب ؟, فقال : حتى أعلم، الفضل في سكوتي أو في جوابي. (انظر "إعانة الطالبين" للشيخ الإمام أبو بكر إبن السيّد محمّد شطى الدمياطي الشافعي, شرح "فتح المعين" ص 24 من الجزء الأوّل)

Artinya : Ketika diajukan pertanyaan kepada Imam Syafi’ie rahimahullah, beliau terdiam, lalu saat beliau di tegur, mengapa diam ?, beliau berkata : “Sehingga aku mengetahui mana yang terbaik bagiku, diam ataukah menjawab”. I’anah Ath-Thalibien page I/24 (Maktabah Syamilah).

قال صلى الله عليه وسلم (( سُوءُ الخُلُقِ شُؤُمٌ, وَشرَارُكُـمْ أسْوَأَكُـمْ خُلُـقًا )). رواه الخطيب. ورُوي أنّه صلى الله عليه وسلم (( إنَّ الْخُلُقَ السَّيِّئَ يُفْسِدُ العَمَلَ كمـَا يُفْسِدُ الخَلُّ العَسَلَ )). رواه العسكري. ورُوي أنّه صلى الله عليه وسلم قال (( أحَبُّ غِبَادِ اللهِ تَعَالَى إلَى اللهِ أحْسَنُهُمْ خُلُـقًا )). رواه الطبراني
انظر "نصائح العباد" للشيخ نواوي الجاوي ص 48 في الباب السداسي

Artinya : Rasulullah saw bersabda “Keburukan (akhlaq sayyi,ah) itu merupakan sifat tercela, sedang diantara kamu yang paling buruk ialah kamu yang paling bejat akhlaqnya”. HR. Al-Khotieb. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw juga bersabda : “Akhlaq yang buruk itu bisa merusak (membatalkan) ‘amal sebagaimana merusaknya rasa cuka pada madu”. HR Al-‘Askariy. Rasulullah saw juga bersabda : “Hamba-hamba Allah yang paling disukai-Nya ialah mereka yang paling baik perangai khlaqnya”. HR. Ath-Thabraniy.

Lihat “Nashoihul-‘Ibad” page 48 dalam bab As-Sudasiy (enam butir-butir nasihat).

<<>> 

Footnote :

[1]. Imam Malik “al-Muwath-tho” hadits nomor 1395 page V/371 dari jalur ‘Mar bin Khotthob radiallahu ‘anhu (Maktabah Syamilah)
[2].  Hadits riwayat muttafaq ‘alayh ;
    Imam Bukhari “Al-Jami’us-Shahih” hadits nomor 48 page I/87, hadit nomor 4404 page IVX/452 (Maktabah Syamilah) ,,, dan
        Imam Muslim “Sahih Muslim” hadits nomor 10 dan 11 page I/88 - 89 (Maktabah Syamilah).
[3].  Imam Ahmad bin Hanbal “Al-Musnad” hadits nomor 2142 page V/174 dari jalur Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma, dan hadits nomor 2260 page V/292 dari jalur yang sama. (Maktabah Syamilah).
[4].  Allah swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 11
[5].  Hujjatul Islam Al-ghozalie “Al-Ihya” page I/27 (Maktabah Syamilah).
[6].  Syekh Imam Abu Bakar bin Sayyid Moh. Syatho Ad-Dimyathi Asy-Syafi’ie “I’anah Ath-Thalibien” page I/24 (Maktabah Syamilah).
[7]. Syekh Nawawie Al-Jawie “Nashoihul’Ibaad” page 48 Bab Sudasi (enam butir-butir nasihat) cetakan “Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyah” Semarang – Indonesia.
Hadza,. wAllahu A'lamu bish-Showaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar