Refleksi
tematik : “Karakteristik Paradigma Akhlaq”
dalam
buku :
DAHULUKAN
AKHLAQ DIATAS FIQIH
By
Jalaluddin rahmat
Bismillahir-Rahmaanir-Rahiiem.
Bicara soal paradigma islam, maka seharusnya kerangka dan cara pandang kita tentunya harus berorientasi kepada suatu penalaran yang merujuk kepada fakta akan teks-teks keislaman itu sendiri atau sumber-sumber referensi islam sebagai dasar pengembangannya, maka seharusnyalah kita mengembalikan hal itu kepada fakta nash-nash al-Quran dan atau al-Hadits sebagai prinsip-prinsip dasar dalam mengikuti perilaku sunnah Rasulullah saw secara konprehensif [1], fakta inilah paling tidak, mind-set dan atau cara pandang kita dalam pada menelisik kembali dari yang terdapat dalam kedua sumber rujukan tersebut untuk disetiap kali kita hendak membedah atau sekedar mensiasati dalam menghadapi suatu permasalahan yang berkembang menyangkut keberagamaan kita, yakni agama islam.
Maka untuk membicarakan
akhlaq sebagai satu kesatuan secara integral dalam pada trilogi ajaran agama,
maka sebisa mungkin simpulannya harus ditarik secara vertikal antara lain kepada
satu hadits Rasulullah saw, yaitu riwayat sahih dari jalur Abu Huraerah radiallahu
‘anhu [2], sebagai pijakan awal didalam kita hendak mengawali dan mengembangkan
satu kajian/pemikiran besar dalam konsep-konsep pengembangan agama, pada
cakupan tema karakteristik paradigma akhlaq.
Hadits riwayat Abu
Haraerah yang saya kemukakan di sini ialah sebagai bentuk manifestasi kita
(umat islam) dalam pada mengamalkan/merealisasikan tiga konsep ajaran agama dalam sekaligus
mengiringi perjalanan keseharian kita, dimana ketiga konsep ini tertuang pada
hadits riwayat Abu Huraerah yang sangat populer itu, ialah sebagai bentuk pengamalan
kita akan konsep Iman dan konsep Islam disatu sisi sebagai landasan dan pijakan
awal yang harus kuat pada diri setiap muslim dalam suatu pengamalan yang benar-benar
kokoh, dan disisi lain kita juga harus mengembangkannya dengan konsep Ihsan
sebagai pelengkap dan penghias diri akan mengiringi dua konsep ajaran
sebelumnya, yakni konsep iman dan islam.
Dalam hadits itu, pada
dasarnya merupakan tiga konsep ajaran atau sebagai satu kesatuan landasan agama
yang utuh dan konprehensif sebagai trilogi ajaran agama (ad-din) yang tak bisa dipisakan
satu dengan lainnya, adalah Rasulullah
saw mengawalinya dengan konsep ajaran iman yang
lurus (hanief) kepada Allah swt, yang kemudian dari ajaran ini kelak lahirlah
konsep AQIDAH yang kuat, lalu yang kedua dari ajaran agama dalam terminologi hadits ini, Rasulullah saw juga kembali menegaskan akan
pentingnya ajaran islam yang pada akhirnya dari ajaran ini juga melahirkan konsep SYARI’AH
sebagai pijakan yang benar untuk mendasari kita dalam ber’ibadah dan bermu’amalah
sesuai dengan yang dititahkan Tuhan via Rasul-Nya, Muhammad saw. Lalu dibagian
akhir sebagai pelengkap, Rasulullah saw juga menyinggung ajaran Ihsan sebagai
suatu keniscayaan yang harus ada dalam diri setiap muslim, yang dari sinilah nantinya
lahir konsep AKHLAQ terpuji sebagai satu-satunya konsep yang bisa menghiasi
perjalanan diri manusia dalam rangka mempertegas sikap keyakinan, ibadah dan
mu’amalah seorang di keseharian pemeluknya, yakni sebagai ummat islam yang berlabel muslim yang
mukmin, sekaligus muhsin.
Ketiga konsep ini, -yaitu
AQIDAH, SYARI’AH dan AKHLAQ-, -sebagai ummat Nabi Muhammad saw- sedapat
mungkin kita bisa mengemban dan memanifestasikannya untuk mengiringi perjalanan
hidup di keseharian kita secara kontinue dan terus menerus, dengan demikian maka
kelak akan diharapkan menjadi seorang yang paripurna (muslim, mukmin dan
muhsin) bila dilihat dari sudut pandang secara manusia seutuhnya, sebab dalam
hadits sahih yang lain, Rasulullah saw juga pernah menegaskan yang maksudnya
kurang lebih begini ; “Manakala seseorang telah mampu mengamalkan satu dari tiga
konsep ajaran agama sebagaimana diatas secara utuh dan benar, tanpa mengurangi
sedikitpun atau menambahkan ajaran tersebut, maka orang itu berhak menyandang
label ”sebagai seorang yang selamat” dan kelak dia dimasukkan kedalam surga-Nya”
[3]. Subahanallah, begitu indah janji rasul kepadanya, tetapi oleh para ulama,
hadits itu dimaknainya sebagai janji rasul yang tidak semata-mata diberikan kepada
seorang badui dimaksud sebagaimaa termaktub dalam teks hadits saja, namun
berlaku juga kepada ummat muslim secara keseluruhan sebagai jaminan bagi siapa
pun yang bisa merealisasikan akan ajaran itu di kesehariannya, yakni ummat
islam seluruhnya.
Baik, kembali ke topik dimana
karakteristik paradigma akhlaq yang merupakan sebagai pusat perhatian (trend
setter) dalam buku yang ditulis oleh seorang pakar islam asal Bandung, Jalaluddin Rahmat berjudul
“Dahulukan Akhlaq Diatas Fiqih” ini, dimana tematik kajian akhlaq ini oleh
penulisnya ditempatkan sebagai solusi terakhir dibanyak kasus yang terjadi di
masyarakat islam dewasa ini. Trik ini memang ada benarnya, pada tema “tinggalkan
fiqh demi persaudaraan” misalnya, ternyata beliau tidak asal bicara, justru
penulisan beliau terasa efektif dan disajikan secara ellegan sebab hal ini didasarkan
pada fakta impiris yang banyak terjadi dimasyarakat kita, mengiringi kasus
waris misalnya dimana sebenarnya seorang anak laki-laki mendapat porsi yang
lebih besar daripada seorang anak perempuan, ini menjadi tidak lagi faktual
manakala akhlaq bisa di sajikan sebagai penengah dan terkadang harus didahalukan
pada kasus yang biasanya dianggap pelik oleh sebagian kalangan ini.
Jalan keluar bagi seseorang -siapa pun dia- yang ada berusaha mendahulukan akhlaq ketimbang fiqih pada konteks waris, tentu akan lebih mudah menerapkan/merealisasikannya manakala diantara ahli waris yang lain juga ada saling pengertian yang terjalin menyertai pola pikir mereka yang moderat, dan tidak hanya itu, juga ada kerelaan satu sama sama lain dari masing-masing fihak meskipun ini terlihat agak janggal dan terkesan tidak mengikuti anjuran syari’ah sebagaimana pesan-pesan indoktrinal Tuhan dalam al-Quran. [4]
Atau pada kasus lain
semisal dalam tema “ikhtilaf sebagai
peluang untuk kemudahan ummat”, memang dalam kasus yang satu ini, peranan
akhlaq akan terasa lebih solutif bila kita sajikan dengan sebenar-benar sikap
elegan demi kesatuan dan persatuan ummat. Hal ini juga banyak sekali teladan
positif yang ditampilkan oleh para Imam madzhab,
Imam Syafi’ie rahimahullah misalnya, beliau tak pernah sekalipun menolak
seseorang yang mengajaknya berhiwar (dialog untuk sharing ilmu) dan menggap
hanya dirinyalah yang paling benar dari semua pandangan yang ada, dalam kitab Ihya,
Imam Ghozali pernah menyitir pandangan Imam Syafi’ie rahimahullah : “Belum
pernah satu kalipun aku menyalahkan pandangan orang lain yang meskipun
pendapatku benar, tapi mungkin saja ada kekeliruan dalam pandanganku, dan
meskipun pendapatmu memang keliru, tapi mungkin juga ada benarnya ”,
begitulah sikap tawaddhu’ yang dikembangkan oleh Imam Syafi’ie. [5]
Dalam kitab
I’anatut-Thalibin, ada kisah menarik menyangkut Imam Syafi’ie rahimahullah,
tatkala beliau ditanya tentang satu masalah, beliau tak serta merta menjawab
pertanyaan itu -hingga boleh jadi permasalahan itu akan menjerumuskannya
terlibat dalam debat sengit yang tak berujung pangkal dan tak ada titik temu-,
melainkan dengan sikap diam seribu basa dan tak banyak kata, lagi-lagi ini
merupakan sikap elegan yang ditampilkan beliau
manakala temui ujian permasalahan menghinggapi dirinya. [6]
Kasus lain misalnya
pada tema “Kesalehan diukur dengan Akhlaq”, banyak juga hadits-hadits nabi
saw yang menyinggung soal ini, antara lain Syekh Nawawie Al-Jawie dalam kitab “Nashoihul-‘Ibad”
yang merupakan pensyarah (komentator) kitab “Al-Munabbihat ‘Alal-Isti’daad
Liyaumil-Ma’aad” karya Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, ada menyitir beberapa hadits,
antara lain riwayat Imam Al-Khotieb : “Keburukan (akhlaq sayyi,ah) itu merupakan
sifat tercela, sedang diantara kamu yang paling buruk ialah kamu yang paling bejat
akhlaqnya”. Masih dalam kitab yang sama, Syekh Nawawie yang juga menjadi
pionir ulama-ulama Snusantara, juga menyitir hadits lain riwayat Al-‘Askariy : bahwa
“Akhlaq yang buruk itu bisa merusak (membatalkan) ‘amal sebagaimana
merusaknya rasa cuka pada madu”, juga hadits lain : “Hamba-hamba Allah
yang paling disukai-Nya ialah mereka yang paling baik perangai khlaqnya”.
HR Imam Thabraniy. [7]
Tetapi -kalau saya
boleh berpendapat- masih ada kekeliruan dann kekurangan di sana sini saat manakala
mind-set akhlaq ini harus di perhadapkan pada kenyataan kasus-kasus yang lain, .
wAllahu A’lamu Bish-Showaab
<<>>
Daftar Rujukan dan
Referensi :
وحدّثني عن مالك
أنّه بلغه أنّ رسول اللَّه صلّى اللّه عليه وسلّم قال : تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
رواه مالك في الموطّا ص 371 من الجزء الخامس (مكتبة شاملة) ـ
Artinya : dan telah
menceritakan kepadaku dari Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata ; telah sampai
kepadanya bahwasannya Rasulullah saw bersabda ; “Telah aku tinggalkan dua
perkara kepada kamu yang tidak akan tersesat selama kamu masih berpegang teguh
dengan keduanya ; pertama kitabullah (al-Quran) dan kedua sunnah nabi-Nya
(al-Hadits)”.
عن أبي هريرة قال كان النّبيّ صلّى
اللَّه عليه وسلّم بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ
قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ
وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ
الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. رواه البخاري
حديث رقم 48 ص 452 من الجزء الرابعة عشرة (مكتبة شاملة) ـ
Artinya : dari Abu
Huraerah RA, ia berkata ; suatu hari hari Nabi saw pernah ngumpul-ngumpul
bersama para sahabat, lalu tiba-tiba datanglah Jibril AS seraya bertanya kepada
Rasulullah “apa itu iman ?”, Rasulullah saw menjawab : “Iman
ialah kamu percaya kepada Allah swt, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, dan kamu percaya akan datangnya hari kebangkitan”, Jibril
bertanya lagi : “Apa itu islam ?”, Rasulullah saw kembali
menjawab : “Islam itu ialah kamu menyembah Allah dan tidak
mensekutukan-Nya sedikitpun, kamu mendirikan shalat, memberikan zakat yang diwajibkan,
dan kamu berpuasa di bulan Ramadhan”, lalu Jibril AS bertanya lagi : “Apa
itu ihsan ?”, Rasulullah saw pun menjawabnya –untuk yang ketiga
kalinya- : “Ihsan itu ialah Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu bisa
melihat-Nya, dan jika ternyata dirimu tak kuasa melihat-Nya, maka yakinlah
sesungguhnya Allah swt melihatmu”.
عن
عبد اللّه بن عبّاس –رضي الله عنهما- أنّ ضِمام بن ثعلبة أخا بني سعد بن بكر لَمَّا
أَسْلَمَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَائِضِ
الْإِسْلَامِ مِنْ الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا فَعَدَّ عَلَيْهِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِنَّ ثُمَّ الزَّكَاةَ ثُمَّ صِيَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ حَجَّ الْبَيْتِ
ثُمَّ أَعْلَمَهُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ وَسَأَفْعَلُ مَا أَمَرْتَنِي
بِهِ لَا أَزِيدُ وَلَا أَنْقُصُ , قال ثمّ ولّى , فقال رسول اللّه صلّى اللّه عليه
وسلّم : " إِنْ يَصْدُقْ ذُو الْعَقِيصَتَيْنِ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ ".
رواه أحمد في المسند حديث رقم 2124 ص 174 من الجزء الخامس (مكتبة شاملة) ـ
Artinya : dari Abdullah
bin ‘Abbas RA bahwasannya Dhimam bin Tsa’labah, yaitu saudaranya Bani Sa’ad bin
Bakar, seketika ia memeluk islam lalu bertanya kepada Rasulullah tentang
kewajiban-kewajiban dalam islam, yaitu shalat dan lain-lain, lalu Rasulullah
saw menjelaskan kepadanya seraya menghitung kewajiban akan lima shalat –dalam
sehari semalam- tidak lebih darinya, kemudian kewajiban berzakat, menjalani
puasa dibulan Ramadhan, kemudian naik haji ke baitullah, lalu Rasulullah saw
pun mengajarinya apa-apa yang terlarang baginya, lalu seusai Rasulullah saw
mengajarinya, lalu dia berikrar dihadapan Rasulullah (dengan membaca dua
kalimah syahadat) “Asyhadu An-Laa ilaaha Illa Allah, wa-Asyhadu Annaka
Rasulullah”, “Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan
saya bersaksi bahwa engkau adalah utusan dan pesuruh Allah”, dan
akan saya laksanakan apa yang engkau serukan kepadaku, tidak akan saya
melebih-lebihkannya, tidak pula saya menguranginya”, dan setelah dia
berlalu dari hadapan Rasulullah saw, lalu Rasulullah bersabda –kepada sebagian
para sahabat yang hadir ditempat- : “Jika dia benar apa yang
dikatakannnya, maka dialah yang kelak berbahagia, dan dia berhak masuk surga”.
يُوصِيكمُ اللهُ في أَوْلادِكمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأُنْثَيَينِ ... الأية من سورة النساء 11
Artinya : “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ...".
(QS. An-Nisa : 11)”
وقال الشافعي رضي الله عنه. ما ناظرتُ أحداً قط فأحببتُ أن
يخطىء. وقال: ما كلمت أحداً قط إلا أحببت أن يوفق ويسدد ويعان ويكون عليه رعاية من
الله تعالى وحظف، وما كلمت أحداً قط وأنا أبالي أن يبين الله الحق على لساني أو
على لسانه. (انظر "إحياء علوم الدين" للغزالي ص 27 من الجزء الأوّل)
Berkata Imam Syafi’ie
rahimahullah : “Belum pernah satu kalipun ketika aku bermunadzoroh (diskusi)
dengan seseorang lalu di sana aku gemar menyalahkan pandangan orang tersebut”.
Ia juga pernah berkata : “Belum pernah terlontar kata-kataku kepada
seseorang kecuali aku gemar (suka) untuk mencari titik temu (persepakatan)
diatantara beberapa persepsi, saling bantu untuk menemukan solusi, dan yang
terjadi pada diri beliau justru adanya ri’ayah (pengawasan)dari Allah swt ”.
dan katanya lagi “Dan belum pernah aku mengata-ngatai seseorang satu
kalipun, dan aku tak perduli akan kejelasan (tabyin) akan kebenaran dari Allah
swt itu datang dari lisanku atau justru via lisannya”.
وسُئل -اي الإمام الشافعي- رضي الله عنه عن مسألة فسكت، فقيل له : لم لا تجيب ؟, فقال : حتى
أعلم، الفضل في سكوتي أو في جوابي. (انظر "إعانة
الطالبين" للشيخ الإمام أبو بكر إبن السيّد محمّد شطى الدمياطي الشافعي, شرح
"فتح المعين" ص 24 من الجزء الأوّل)
Artinya
: Ketika diajukan pertanyaan kepada Imam Syafi’ie rahimahullah, beliau terdiam,
lalu saat beliau di tegur, mengapa diam ?, beliau berkata : “Sehingga aku
mengetahui mana yang terbaik bagiku, diam ataukah menjawab”. I’anah
Ath-Thalibien page I/24 (Maktabah Syamilah).
قال صلى الله عليه وسلم (( سُوءُ
الخُلُقِ شُؤُمٌ, وَشرَارُكُـمْ أسْوَأَكُـمْ خُلُـقًا )).
رواه الخطيب. ورُوي أنّه صلى الله عليه وسلم (( إنَّ
الْخُلُقَ السَّيِّئَ يُفْسِدُ العَمَلَ كمـَا يُفْسِدُ الخَلُّ العَسَلَ
)). رواه العسكري. ورُوي أنّه صلى الله عليه وسلم قال (( أحَبُّ
غِبَادِ اللهِ تَعَالَى إلَى اللهِ أحْسَنُهُمْ خُلُـقًا )).
رواه الطبراني
انظر "نصائح العباد" للشيخ نواوي الجاوي ص 48 في
الباب السداسي
Artinya
: Rasulullah saw bersabda “Keburukan (akhlaq sayyi,ah) itu merupakan
sifat tercela, sedang diantara kamu yang paling buruk ialah kamu yang paling bejat
akhlaqnya”. HR. Al-Khotieb. Diriwayatkan bahwa
Rasulullah saw juga bersabda : “Akhlaq yang buruk itu
bisa merusak (membatalkan) ‘amal sebagaimana merusaknya rasa cuka pada madu”. HR Al-‘Askariy. Rasulullah saw juga bersabda : “Hamba-hamba
Allah yang paling disukai-Nya ialah mereka yang paling baik perangai khlaqnya”. HR. Ath-Thabraniy.
Lihat
“Nashoihul-‘Ibad” page 48 dalam bab As-Sudasiy (enam butir-butir nasihat).
<<>>
Footnote :
[1]. Imam Malik “al-Muwath-tho”
hadits nomor 1395 page V/371 dari jalur ‘Mar bin Khotthob radiallahu ‘anhu
(Maktabah Syamilah)
[2]. Hadits riwayat muttafaq ‘alayh ;
Imam Bukhari “Al-Jami’us-Shahih” hadits nomor 48 page I/87, hadit nomor 4404 page IVX/452 (Maktabah Syamilah) ,,, dan
Imam Muslim “Sahih Muslim” hadits nomor 10 dan 11 page I/88 - 89 (Maktabah Syamilah).
Imam Bukhari “Al-Jami’us-Shahih” hadits nomor 48 page I/87, hadit nomor 4404 page IVX/452 (Maktabah Syamilah) ,,, dan
Imam Muslim “Sahih Muslim” hadits nomor 10 dan 11 page I/88 - 89 (Maktabah Syamilah).
[3]. Imam Ahmad bin Hanbal “Al-Musnad”
hadits nomor 2142 page V/174 dari jalur Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma, dan
hadits nomor 2260 page V/292 dari jalur yang sama. (Maktabah Syamilah).
[4]. Allah swt
berfirman dalam surat An-Nisa ayat 11
[5]. Hujjatul Islam Al-ghozalie “Al-Ihya”
page I/27 (Maktabah Syamilah).
[6].
Syekh Imam Abu Bakar bin Sayyid Moh.
Syatho Ad-Dimyathi Asy-Syafi’ie “I’anah Ath-Thalibien” page I/24
(Maktabah Syamilah).
[7].
Syekh Nawawie Al-Jawie “Nashoihul’Ibaad” page 48 Bab Sudasi (enam
butir-butir nasihat) cetakan “Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyah” Semarang –
Indonesia.
Hadza,. wAllahu A'lamu bish-Showaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar