Jumat, 29 Agustus 2014

Tahapan belajar bagi pembelajar dalam proses pembelajaran menurut para pakar islam (Ulama).



Prof. DR. KH. Maksum Mukhtar, MA : Makna pendidikan. 

Jika kita mau benar-benar memperhatikan (niteni) -seperti yang diinstruksikan oleh Prof. Maksum- pada tulisan pengatar “Menguatkan Niat dan Sikap Belajarklick disini yang diterbitkan dalam buku pedoman ta’arruf untuk mahasiswa baru IAIN Syekh Nurjati Cirebon periode 2014, ada beberapa catatan penting didalamnya sebagai benang merah yang merupakan pesan inti yang hendak beliau sampaikan berkenaan dengan pemaknaan pendidikan diberbagai jenjang hingga sampaipun di perguruan tinggi dan juga menyertakan beberapa tahapan (syarat dan ketentuan) yang harus ada dalam pencapaian pembelajaran bagi seorang pembelajar.

Menurut beliau, -sebagaimana terekam pada paragraph pertama dan kedua- bahwa inti pendidikan itu  terletak pada adanya proses atau upaya “belajar” atau yang lazim disebut “learn”. Lebih lanjut, beliau mengutip beberapa sandaran dasar dari teks-teks keislaman (hadits Nabi saw), begini ungkapnya : “Itulah sebabnya dalam tradisi islam menekankan bahwa belajar atau tholabul-‘ilmi adalah fardhu, sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan sejak dalam kandungan (mahdi) hingga ke liang kubur (lahdi)”.

Kemudian, beliau juga mengungkapkan beberapa tahapan yang harus dilalui oleh seorang pembelajar dalam pada pencapainnya menuju pribadi pembelajar yang benar-benar otimal, hal ini terungkap pada paragraph-peragrap berikutnya.

Beliau juga menekankan pentingnya dua syarat dalam proses pembelajaran, demikian tulisnya di paragraph keempat : “Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari setiap tahapan, hingga sampai pada tahapan puncak tersebut, perlu memenuhi dua syarat. Syarat pertama adalah adanya niat yang kuat atau ‘azam. Syarat kedua adalah terpeuhinya sikap , etika dan keterampilan atau skill untuk meraih masing-masing tahap ta’allum tersebut

Tahap pertama -sebagai syarat pembelajaran yang harus ada-, beliau mengungkapnya dalam tiga paragraph ; paragraph kelima, keenam dan ketujuh. Dalam tahapan ini mencakup tiga hal, yaitu : adanya gathering (mengihimun, jam’i), sharing (saling bertukar, tabaddul) dan selection (memilih, chiyar). Ketiga tahapan ini -seorang pembelajar- pada praktiknya juga harus menyertakan sikap “tawaddhu’” (humble), “sidq” (jujur, trust) dan “amanah” (integrity), ketiga sikap ini tidak boleh diabaikan bagi seorang pembelajar dalam pada masa pembelajarannya.

Sedangkan tahap kedua sebagai -syarat yang harus ada bagi seorang pembelajar-, beliau paparkan dalam lima paragraph sekaligus, yaitu paragraph kedelapan, kesembilan, kesepuluh, kesebelas dan paragraph keduabelas. Pada tahap ini mencakup beberapa sikap, yaitu ; sikap “hirs” (tekun) dan “ishtibaar” (endurance, daya tahan tinggi).

Kemudian diakhir pengantarnya, beliau juga menambahkan satu lagi tahapan yang musti ada bagi diri seorang pembelajar, yaitu tahap menjadikan “sulch” sebagai tindakan bawah sadar bagi diri pembelajar yang pada gilirannya membawa seorang pembelajar diharapkan menjadi pribadi yang shalih secara actual. Tahapan ini beliau tulis di paragraph ketigabelas, keempatbelas, kelimabelas dan keenambelas.

Tinjauan para pakar islam (Ulama) tentang proses pembelajaran
 
a.  Imam Ghozalie 

Prof. Maksum dalam tulisan pengantarnya “Menguatkan Niat dan Sikap Belajar” sebagaimana diatas -pada paragraph keempat- mengklasifikasi tahapan-tahapan dalam proses pembelajaran.  

Secara garis besar, beliau membaginya kepada dua tahapan yang harus tidak boleh diabaikan bagi setiap kalangan pembelajar, demikian tulis beliau : “Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari setiap tahapan, hingga sampai pada tahapan puncak tersebut, perlu memenuhi dua syarat. Syarat pertama adalah adanya niat yang kuat atau ‘azam. Syarat kedua adalah terpeuhinya sikap , etika dan keterampilan atau skill untuk meraih masing-masing tahap ta’allum tersebut”.

Maka dalam kaitan ini, Imam Ghozalie rahimahullah -dalam kitab “Minhaj al-’Abidiien” page 8 baris ke 23 dari atas- mengingatkan kepada kita para pencari ‘ilmu/para pembelajar, begini nashnya :

ثمّ اعلم أنّ هذه العقبة الّتي هي عقبةُ العلم , عقبةٌ كَؤودٌ ، ولكن بها يُنال المطلوب والمقصود , ونفعها كثير ، وقطعها شديد , وخطرها عظيم ، كم من عدل عنها فضلّ ، وكم مَن سلكها فزلّ ، وكم من تائه فيها متحيّر ، وكم من حائر منقطع ، وكم من سالك قطعها في مدّة يسيرة ، وآخر متردّد فيها سبعين سنة ، والأمر كلّه بيد الله عزّ وجلّ .


Kemudian,  perlu anda tahu !, bahwa tahapan-tahapan pencapaian ilmu itu sangat sulit ditempuh/ditembus, tetapi jika sudah bisa ditembus, maka segala sesuatunya -terkait apa yang hendak kita cari dan kita tuju- akan bisa dengan mudah dicapai atau ditempuh. Manfaatnya banyak sekali, cara pencapaiannya atau penembusannya sungguh berat, didalamnya banyak sekali timbul kekhawatiran-kekhawatiran, banyak orang -pembelajar- keluar dari rel dan koridor yang benar lalu tersesat karenanya, banyak yang bisa melaluinya tetapi ditengah-tengahnya terpeleset, banyak juga yang bingung hingga tak sampai ditujuan yang hendak ditempuhnya, tetapi kadang-kadang banyak juga -kalangan pembelajar- hanya dengan waktu yang singkat bisa sampai ditujuannya, sedangkan bagi yang lain butuh waktu berpuluh-puluh tahun dalam pencapaiannya -hingga tujuh puluh tahun-. Semua itu ada ditanga Allah swt. 

b.  Imam Syafi’ie rahimahullah. 

Pada tahap kedua pembelajaran, Proessor Maksum menerangkan : bahwa seorang pembelajar harus menyertakan dua sikap dalam proses pembelajarannya, yaitu sikap “hirs” (tekun) dan “ishtibaar” (endurance, daya tahan tinggi). Hal ini sama dengan yang dinasihatkan oleh Imam Syafi’ie -rahimahullah- dalam sya’irnya.

Imam Syafi’ie -rahimahullah- pernah membuat syair yang isinya sangat baik dan mengena untuk kita -para pembelajar- simak, yaitu tentang beberapa tahapan, ketentuan dan syarat yang harus ada dan musti diikuti bagi setiap kalangan pembelajar, ialah ada enam (6) yang manakala ketentuan dan syarat ini diabaikan oleh seorang pembelajar, maka niscaya pencapaian ilmu dan pengetahuan yang digadang-gadangnya pun menjadi tak tersampaikan.

Simak syair berikut ini :

أَلا لا تـَــنَالُ العِلمَ إِلا بِسِتَّــةٍ :: سَأُنبِـيْكَ عَن مَجْمُوعِهَا بِبَيان

ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِصْتِبَارٌ وَبُلغَةٌ :: وَإرْشَادُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ 

Ingat, sekali-kali kamu tidak akan bisa peroleh ilmu kecuali -dalam pencapaiannya- harus dengan melibatkan enam hal :: enam hal (sebagai tahapan/ketentuan dan syarat) tersebut akan aku kembangkan sebagai berikut.


Pertama “Dzaka” => (intelectuality),
kedua “Hirsh” => (tekun),
ketiga “Ishtibaar” => (daya tahan tinggi dan kesabaran),
keempat “Bulghoh” => (berkecukupan biaya), ::
kelima “Mursyied” => (guru yang bijak), dan
keenam “Thuliz-Zaman” => (cukup waktu). 

c.   Syekh Nawawi Al-Jawie.

Dalam kitabnya “Nashohul-’Ibad” page 52 bab “tsumani” (bab delapan butir nasihat) maqolah pertama, Syekh Nawawie Al-Jawie menambahkan tiga (3) tahapan lagi yang harus dimiliki bagi setiap kalangan pembelajar, sehingga enam (6) ketentuan dan syarat/tahapan yang ada dalam sya’irnya Imam Syafi’ie tersebut menjadi sembilan (9) tahapan, 

demikian nashnya ;

 فالشروط التي يتوفّر بها علم الطالب تسعة
أحدها  العقل الذي به حقائق الأمور

والثاني الفطنة التي يتصوّر بها غوامض العلوم

والثالث الذكاء الذي يستقرّ به حفظ ما يُتصوّر وفهم ما علّمه

والرابع الشهوة التي يدوم بها الطلب ولا يسرع اليها الملل
والخامس الإكتفاء بادة تغنيه عن كلف الطلب
والسادس الفراغ الذي يكون معه التوفّر ويحصل به الإستكثار
والسابع عدم القواطع المذهلة من عموم وأمراض
والثامن طول العمر واتساع المدّة لينتهي بالإستكثار إلى مراتب الكمال

والتاسع الظفر بعالم سمح بعلمه مُتأنّ في تعليمه

إذا استكمل هذه التسعة فهو أسعد طالب وأنجح متعلّم


Pertama : “al-’Aql” => kecerdasan yang dengan inilah seseorang bisa menemukan hakikat kebenaran. (hal ini dimiliki oleh setiap manusia, termasuk orang gila).

Kedua : “al-Fathanah” => kecerdasan yang dengan inilah seseorang bisa menseketsakan ilmu (mengangan-angankan ilmu kedalam benaknya). Hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, atau orang-orang pilihan seperti para nabi dan auliya.

Ketiga : “adz-Dzaka” / “adz-Dzuka” => daya ingat => “Dzaka” => (intellectuality/IQ) yang dengannya seseorang mampu mempertahankan daya ingatnya dan mampu untuk disebarkan. Hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang mau berusaha mencari ilmu, atau dalam terminologi alquran disebut sebagai “Ulul-Albab” (orang-orang yang berfikir kritis dan mendalam).

Keempat : “asy-Syahwat” => giroh/keinginan yang kuat yang dengan ini ilmu yang telah didapat mampu bertahan lama dalam benaknya dan tidak cepat hilang.

Kelima : “al-Iktifa” => ‘ilmul-haal, yaitu ilmu-ilmu terapan
Keenam : “al-Firagh” => “Hirsh” => (tekun)
Ketujuh : “’Adam al-Qowathi’” => “Ishtibaar” => (daya tahan tinggi dan kesabaran)
Kedelapan : “Thuul al-‘Umur” => “Thuliz-Zaman” => (cukup waktu)
Kesembilan : “adh-Dhufr bi'Aalim” => “Mursyied” => (guru yang bijak)

Diakhir sesi pengantarnya “Menguatkan Niat dan sikap Belajar”, Prof. Maksum -dalam paragraph ketigabelas- juga menjelaskan tahapan terakhir, yaitu tahapan ketiga yang harus dilalui bagi setiap pembelajar, begini tulisnya : “Untuk sampai ke tingkat ini, seorang pembelajar harus memiliki tekad untuk komitmen dan istiqomah (tuuluz-zamaani)”.

Hal ini sama dengan yang dititahkan oleh Imam Syafi’ie dalam sya’irnya tersebut diatas, yaitu pada ketentuan dan atau syarat keenam. Silahkan rujuk ke sya’ir tersebut.

Masih pada paragraph yang sama, Prof. Maksum menulis : Tradisi islam juga menyebutkan “Wakullu man bighoiri ‘ilmin ya’malu :: A’maaluhu mardudatun laa tuqbalu”.
Ini sama dengan maqolah Ibnu Ruslan dalam kitabnya :

وَكُلُّ مَنْ بِغَيرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ ¤ أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَلُ

Setiap orang yang melakukan sesuatu (terutama amal ibadah) tanpa pengetahuan (tentang ilmu sesuatu itu), maka usahanya tidak berguna.

Hanya saja, Prof. Maksum terkesan lebih kontekstual dalam penerjemahan syair tersebut, begini tulisnya : “Suatu pengetahuan yang tidak dioperasionalkan (diamalkan), tidak akan menghasilkan “skill” dan keterampilan yang berguna dan bermanfaat (tsamar)”.

Sebab itu, lanjutnya : “Praktek, aktivitas, skill dan keterampilan yang tidak berbasis pada knowledge atau ilmu yang benar juga tidak akan membuahkan hasil yang optimal, bahkan cenderung merusak dan tertolak (marduud)”.

Terkait syarat/tahapan kelima “Mursyied” => (guru yang bijak), Imam Ghozalie -dalam kitab “Minhaj al-’Abidiienpage 8 baris ke 23 dari atas- punya komentar tersendiri, demikian nashnya :

فاعلم أنّ الإسناد فاتح ومسهّل , وَالتّحصيل معه أسهل وَأروح ، والله تعالى بفضله يمنّ على من يشاء من عباده فيكون هو معلمهم سبحانه وتعالى.



Perlu anda tahu, bahwa sosok seorang guru -bagi kalangan pembelajar- itu hanya diposisikan sebagai pembuka jalan dan -berfungsi- sebagai yang memudahkan jalan. Pencapaian ilmu dan pengetahuan melalui guru memang lebih mudah dan lebih enak, sedangkan Allah swt dengan segala anugerahNya akan memberikan ilmu kepada siapapun -hamba-hamba Allah- yang Ia kehendaki, maka menjadilah Allah swt itu sebagai guru langsung bagi mereka. 

<<>>


KESIMPULAN

Prof. Maksum -dalam “Menguatkan Niat dan Sikap Belajar”- menjelaskan bahwa inti dari pendidikan itu adalah adanya proses atau upaya “belajar” atau “learn”.

Mau atau tidak mau, dalam proses pembelajaran, beliau mengungkapkan bahwa didalamnya ada tahapan (syarat dan ketentuan) yang harus diikuti dan dilalui oleh setiap kalangan pembelajar. Tahapan tersebut, beliau mengklasifikasikannya kepada dua tahapan ;

Tahapan pertama, adanya niat yang kuat atau ‘azam. Dimana pada tahapan ini mencakup tiga hal penting (proses), yaitu :
*. Proses Gathering => (mengihimun, jam’i),
*. Proses Sharing => (saling bertukar, tabaddul) dan
*. Proses Selecting => (memilih, chiyar).
tiga tahapan tersebut -seorang pembelajar- pada praktiknya juga harus menyertakan beberapa sikap, antara lain :
*. Sikap “Tawaddhu” => (humble),
*. Sikap “Sidq” => (jujur, trust) dan
*. Sikap “Amanah” => (integrity).
tiga sikap ini mustiny tidak boleh diabaikan dan harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap kalangan pembelajar dalam pada masa pembelajarannya baik secara individual (autodidact/mandiri) maupun secara kolektif dikelas.

Tahapan kedua adalah terpeuhinya sikap, etika dan keterampilan atau skill. Dimana pada tahap ini mencakup beberapa sikap, yaitu ;
*. Sikap “Hirs” (tekun) dan
*. Sikap “Ishtibaar” (endurance, daya tahan tinggi).

Kemudian diakhir pengantarnya, beliau juga menambahkan satu lagi tahapan yang musti ada bagi diri seorang pembelajar, yaitu tahap menjadikan “sulch” sebagai tindakan bawah sadar yang pada gilirannya nanti membawanya -diharapkan- menjadi pribadi yang “shalih” secara actual.

<<>> 
Daftar Referensi
1.        Al-Quran Al-Kariiem
2.        Tafsir Al-Quran Al-‘Adziem by Imam Ibnu Katsiier
3.        Tafsir Jalalain by Imam As-Suyuthi
4.        Tafsir Jami’ul-Bayan by Imam Ath-Thobari
5.      Tafsir Freewer Al-Quran digital versi Departemen Agama RI
6.        Hadits Nabawie Asy-Syarief
7.        Kitab Kasyful-Khifa by Imam Al-‘Ajaluni
8.        Kitab Majmu’ Fatawa by Syekh Ibnu Taymiyah
9.        Kitab Ta’liim al-Muta’allim by Syekh Ibrahim
10.     Kitab Nashoih al-‘Ibad by Syekh Nawawie Al-Jawie
11.     Kitab Minhaj al-‘Abidiien by Imam Al-Ghozalie
12.     Kitab I’anah ath-Thalibiien by Moh. Dimyathi Syatho
13.     Kamus Besar Bahasa Indonesia (digital)
14.     Kamus Englis-Indonesia (digital)
15.     Websites internet

Footnotes
[01]. http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/, tertanggal Minggu, 22 Desember 2013
[02]. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI-Offline). Versi 1.5.1 “Luring”
[03]. Kamus Digital Englis-Indonesia. Versi 2.03
[04]. http://balitbangdiklat.kemenag.go.id/, tertanggal Minggu, 22 Desember 2013
[05]. Quran Suran Al-Isra : 24.
[06]. Imam Ibnu Katsier, Tafsir Al-Quran Al-‘Adziem, page VI/264. (Maktabah Syamilah)
[07]. Quran Surah. Asy-Syu’ara : 18
[08]. Imam Ibnu Katsier, At-Tafsir Al-Quran Al-‘Adziem, page III/443. (Maktabah Syamilah)
[09]. Quran Surah Al-Baqoroh : 31
[10]. Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Al-Jalilain, page I/37. (Maktabah Syamilah).
[11]. Quran Surah Al An’am : 156
[12]. Penafsiran Freewer Al-Quran digital versi Departemen Agama RI.
[13]. Imam Ath-Thobariy, Jami’ul-Bayaan, page VI/546. (Maktabah Syamilah)
[14]. Quran Surah Al-Baqarah : 151
[15]. Imam Ibnu Katsier, At-Tafsir Al-Quran Al-‘Adziem, page I/464. (Maktabah Syamilah)
[16]. HR. Ibnu As-Sam’ani dalam bab “Al-Imla wal-Istimla” page 1.
[17]. Kasyful-Khifa , page I/70. (Maktabah Syamilah)
[18]. Ibnu Taymiyyah , "Majmu’ Fatawa" page XVIII/375.
[19]. Kasyful-Khifa , page I/70. (Maktabah Syamilah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar