Senin, 25 Agustus 2014

MENGUATKAN NIAT DAN SIKAP BELAJAR


Oleh Prof. DR. H. Maksum Mukhtar, MA (Guru besar dan Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Bismillahir-Rahmaanir-Rahiiem
Jika hendak dicari intinya, upaya kita untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi adalah upaya “belajar” atau “learn”. Sejatinya, aktifitas inti dan utama dalam pendidikan sampaipun pendidikan di perguruan tinggi, adalah “learn” atau “ta’allum”, itulah sebabnya dalam tradisi islam menekankan bahwa beajar atau tholabul-‘ilmi adalah fardhu, sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan sejak dalam kandungan (mahdi) hingga ke liang kubur (lahdi).

Belajar itu sendiri esensinya adalah “berubah”, “taghoyyur” atau “change”. Dalam konteks pendidikan, perubahan dimaksud harus mengarah kepada sesuatu atau keadaan yang lebih baik. Andaikata perubahan sebagai hasil belajar tidak mengarah kepada sesuatu yang lebih baik, maka berarti pendidikan, telah gagal. Atau berarti kita, sebagai pembelajar, tidak melanjutkan melainkan merusak pendidikan kita sendiri.

Dalam perspektif islam, belajar itu memiliki tahapan-tahapan yang tidak tetrputus, dan kompak, yaitu tahapan meraih ilmu (tholabul-‘ilmi), tahapan mengoperasionalkan ilmu dan mengembangkannya (a’maalul-‘ilmi), tahapan menjadi pribadi berilmu (“dzawil-‘ilmi wal-‘amali’ atau “ulil-‘ilmi wal-‘amal”) dan kemudian tahapan memanfaatkan ilmu dalam rangka rahmat bagi semua (infaa’ul-‘ilmi rahmatan lil’alamiin). Tujuan puncak pendidikan dan belajar esensinya adalah agar dapat engabdi kepada Allah secara optimal, dan melaksanakan tugas kekhalifahan manusia secara efektif demi terwujudnya rahmatan lil’alamiin (living tugether).


Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari setiap tahapan, hingga sampai pada tahapan puncak tersebut, perlu memenuhi dua syarat. Syarat pertama adalah adanya niat yang kuat atau ‘azam. Syarat kedua adalah terpeuhinya sikap , etika dan keterampilan atau skill untuk meraih masing-masing tahap ta’allum tersebut.

Tahap pertama adalah tahap gathering (mengihimun, jam’i), sharing (saling bertukar, tabaddul) dan selection (memilih, chiyar) terhadap informasi, baik yang berupa pengetahuan maupun berupa ilmu. Seorang pembelajar yang baik, harus mampu menyaring dan menyeleksi informasi. Disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya. Untuk data melakukan itu, seorang embelajar perlu memiliki sikap tawaddhu’ (humble). Dalam etika belajar menurut islam, sikap tawaddhu’ itu amat penting.

Tawaddhu’ adalah kesediaan untuk berada “dibawah” yang memungkinkan informasi dapat mengalir ke dalam diri pembelajar tanpa hambatan. Tawaddhu’ juga merapakan sikap “merasa kurang dan belum sempurna”, sehingga melahirkan kesediaan untuk “terbuka” dan “menambah”, yang melahirkan dirinya untuk “mencari” dan “memburu” dan menerima informasi dari berbagai jalan. Sikap demikian akan menumbuhkan sikap cinta pengetahuan dan cinta ilmu dan sekaligus dapat menghidupkan kemampuan berfikir logis dan bernalar, serta melahirkaan kemampuan kritis dan kreatif untuk mengolah informasi. Hal demikian akan terjadi karena dengan tawaddhu’ seorang pembelajar akan bersedia mendengar dan bahkan menyalahkan dirinya, rela dikritik dan dikoreksi dan dikritisi, yang semuanya adalah syarat mutlak bagi terjadinya penghimpunan, pertukaran dan penyaringan yang efektif yang mengantarkannya pada perubahan diri bagi pembelajar yang positif.

Selain itu, belajar pada tahap ini, perlu didukung oleh sikap jujur (sidq) dan amanah (integritas). Dengan dukungan kedua sikap tersebut daya nalar dan daya kritis pembelajar akan semakin tajam dan “kena” (mencapai sasaran). Belajar yang tidak di back-up denggan kedua sikap ini dapat menumbuhkan perilaku yang merugikan diri pembelajar. Alih-alih menjadi seorang terpelajar (well informed) malah menjadi “asbun”, humazah-lumazah (pengumpat-pencela) yang dapat merusak kemampuan nalarnya atau bahkan mencintai gossip dan manipulasi.

Tahap kedua, adalah tahap pemaknaan terhadap informasi yang telah disaringnya. Pada tahap ini, seorang pembelajar secara substansial mengharuskan dirinya untuk mengolah, mengintegrasikan dan mentansformasikan pengetahuan dan atau ilmu yang telah dimilikinya agar dapat menjawab tuntutan-tuntutan persoalan yang dihadapinya (problem solving), yang memungkinkan lahirnya tindakan-tindakan, pengetahuan atau ilmu yang lebih baru dan lebih akurat dalam menjawab dan memenuhi kebutuhan dan memecahkan maslah yang dihadapinya.

Pada tahap ini, selain sikap jujur dan amanah, diperlukan sikap hirs (tekun) dan ishtibaar (endurance, daya tahan tinggi). Informasi yang manipulative tidak akan menghasilkan sesuatu yang benar dan berguna. Karena itu lah sikap jujur dan amanah erlu dijadikan pegangan. Namun, untuk mengolah informasi yang benar, akurat dan mengintegrasikannya dengan informasi yang benar lainnya, dan kemudian mentransformasikannya menjadi pengetahuan dan ilmu baru atau menjadi tindakan (praksis) dan pengalaman yang lebih bermakna memang memerlukan ketekunan dan kesabaran yang tinggi. Bahkan transformasi pengetahuan dan ilmu menjadi praksis dan aksi yang bermanfaat, dalam penglihatan islam, adalah suatu keharusan. Tradisi islam mengatakan “Al-‘Ilmu bilaa ‘amalin Kasy-Syajari bilaa Tsamar”, juga menyebutkan “Wakullu man bighoiri ‘ilmin ya’malu :: A’maaluhu mardudatun laa tuqbalu”. Suatu pengetahuan yang tidak dioperasionalkan, tidak akan menghasilkan skill dan keterampilan yang berguna dan bermanfaat (tsamar). Praktek, aktivitas, skill dan keterampilan yang tidak berbasis pada knowledge atau ilmu yang benar juga tidak akan membuahkan hasil yang optimal, bahkan cenderung merusak dan tertolak (marduud).

Hirs dan isthibaar itu diperlukan karena kerja internalisasi yang akan menghasilkan kolaborasi, integrasi dan transformasi seperti dimaksud diatas merupakan kerja yang kompleks dan rumit. Didalamnya akan berjumpa dengan ragam-ragam penyaringan dan eksperimen yang harus dilakukan, dengan tantangan pengulangan, kegagalan (errors) dan gangguan-gangguan lainnya. Jika sikap-sikap tadi ditinggalkan, maka kerugiannya seorang pembelajar akan menjadi “omdo” yang tidak pernah mampu membuktikan perkataannya dengan aksi yang berguna. Atau alih-alih mampu melakukan aksi atau tindakan yang benar, hanya akan mampu menjadi calo kerja atau provokator “an taquluu ma laa taf’aluun”, karena memang kemampuan amaliah atau kemampuan aksinya tidak dikembangkan.

Sikap jujur dalam menerima ilmu dan knowledge serta mentransformasikannya kedalam kerja atau aktivitas, juga amat vital untuk mendukung “keterbukaan” atau eksternalisasi dan sosialisasi ilmu serta knowledge, sebagai bagian dari pengembangan ilmu dan knowledge itu sendiri. Adagium islam mengatakan “kitmaanul-‘ilmi dzulmun” menyembunyikan ilmu apalagi memanipulasinya adalah perbuatan dzalim.

Menghimpun dan mengolah ilmu dengan sikap jujur serta mentransformasikannya kedalam tindakan, aktivitas atau aksi yang juga jujur dan konsisten ; atau menuangkan aktivitas tindakan atau aksi yang berbasis pada informasi, pengetahuan dan ilmu yang tidak manipulative, seperti diatas merupakan tindakan yang benar dan seharusnya (sulch).

Tahap ketiga dari belajar adalah tahap menjadikan sulch sebagai tindakan bawah sadar diri pembelajar, atau menjadi shalih secara actual. Untuk sampai ke tingkat ini, seorang pembelajar harus memiliki tekad untuk komitmen dan istiqomah (tuuluz-zamaani). Pembelajar pada tahapan ini, tidak hanya memiliki ilmu (dzawil-‘ilmi) dan mampu mengimplematasikannya dalam aksi (dzawil-‘amali), tetapi perilaku lurus yang benar (sulch) seperti itu telah membudaya dalam pribadinya (shalihin). Pada pembelajar yang shalihin produksi serta kualitas amal ilmiah (aktivitas terkonsepsi) dan ilmiah ‘amaliah (intelektual terapannya) akan selalu meningkat. Namun, jika sikap-sikap diatas tidak dihadirkan, seorang pembelajar tidak akan menjadi professional, melainkan hanya akan menjadi “intelektual tukang” (wisuda al-amru ilaa ghoiri ahlihi), yang hanya akan bekerja untuk memenuhi “pesanan sesaat” orang lain dengan mengabaikan kesalehan pekerjaannya.

Ultimate Goal (target puncak) dari “kewajiban belajar” (fardhu ‘ain) dalam islam adalah terproduksinya ilmu dan amal yang shalih pada masing-masing pribadi yang nilai manfaat dan mashlahatnya melampaui dirinya dan melimpah pada manusia yang lain dan alam semesta, sebagai rahmatan lil’alamiin. Karena itu, belajar harus ditingkatkan menjadi upaya memasukkan dan menanamkan nilai optimalisasi maksimum dari setiap amal shalihnya itu untuk kemnfaatan dan kesjahteraan diluar dirinya tanpa pamrih apa dan siapa pun, kecuali untuk mendapatkan ridho Allah. Mereka yang telah sampai pada tahapan ini sejatinya adalah mereka yang berwawasan luas, mampu berfikir holistic-integratif-multiperpective, memiliki budaya inovatif-kreatif, yang ditandai dengan usaha keras untuk senantiasa mengembangkan, menemukan, membiakkan, dan menganekaragamkan ilmu yang bermanfaat dan melipatgandakan amal shalih, yang oreintasinya untuk membahagiakan dan mensejahterakan alam semesta, melampaui pamrih dirinya, khoirukum anfa’ukum linnas. Pembelajar pada tingkat itu adalah seorang “muhsin” yang dalam pencapaiannya harus berhias dengan sikap ihlas dan tawakkal. Pudarnya sikap ihlas dan tawakkal akan mengantarkan seorang pembelajar hanya menjadi professional yang berorientasi pada manfaat dirim pragmatis dan komersil (Man-yasytaruu bi ayatiHi tsamanan qolila).

Secara factual, tahap dan tingkat belajar sebagai diurai diatas, adalah proses yang kontinyu dan kompak. Tahapan itu memang harus ada, namun prosesnya berkelanjutan dan mampat waktu, karena tidak memiliki waktu jeda diantara tahapannya dan harus berlangsung cepat jika dibutuhkan.

Dari itu, maka mental dan keterampilan belajar harus selalu dipacu dan dijadikan prioritas dalam upaya mencapai sukses pendidikan. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dengan demikian adalah usaha menguatkan dan memelejitkan mental serta keterampilan belajar tersebut, sehingga belajar semakin menyenangkan menjadi karakter diri.
Wallahu A’lamu

Cirebon, 18 Agustus 2014.

Rektor



Prof. DR. KH. Maksum Mukhtar, MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar