Oleh Prof. DR. H. Maksum Mukhtar, MA (Guru
besar dan Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Bismillahir-Rahmaanir-Rahiiem
Jika hendak dicari intinya, upaya kita
untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi adalah upaya “belajar”
atau “learn”. Sejatinya, aktifitas inti dan utama dalam
pendidikan sampaipun pendidikan di perguruan tinggi, adalah “learn”
atau “ta’allum”, itulah sebabnya dalam tradisi islam menekankan
bahwa beajar atau tholabul-‘ilmi adalah fardhu,
sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan sejak dalam kandungan (mahdi)
hingga ke liang kubur (lahdi).
Belajar itu sendiri esensinya adalah “berubah”,
“taghoyyur” atau “change”. Dalam konteks
pendidikan, perubahan dimaksud harus mengarah kepada sesuatu atau keadaan yang
lebih baik. Andaikata perubahan sebagai hasil belajar tidak mengarah kepada
sesuatu yang lebih baik, maka berarti pendidikan, telah gagal. Atau berarti
kita, sebagai pembelajar, tidak melanjutkan melainkan merusak pendidikan kita
sendiri.
Dalam perspektif islam, belajar itu
memiliki tahapan-tahapan yang tidak tetrputus, dan kompak, yaitu tahapan meraih
ilmu (tholabul-‘ilmi), tahapan mengoperasionalkan ilmu dan mengembangkannya (a’maalul-‘ilmi),
tahapan menjadi pribadi berilmu (“dzawil-‘ilmi wal-‘amali’ atau “ulil-‘ilmi
wal-‘amal”) dan kemudian tahapan memanfaatkan ilmu dalam rangka rahmat bagi
semua (infaa’ul-‘ilmi rahmatan lil’alamiin). Tujuan puncak pendidikan dan
belajar esensinya adalah agar dapat engabdi kepada Allah secara optimal, dan
melaksanakan tugas kekhalifahan manusia secara efektif demi terwujudnya
rahmatan lil’alamiin (living tugether).
Untuk mendapatkan hasil yang optimal
dari setiap tahapan, hingga sampai pada tahapan puncak tersebut, perlu memenuhi
dua syarat. Syarat pertama adalah adanya niat yang kuat atau ‘azam. Syarat kedua
adalah terpeuhinya sikap , etika dan keterampilan atau skill untuk meraih
masing-masing tahap ta’allum tersebut.
Tahap pertama adalah tahap gathering (mengihimun,
jam’i), sharing (saling bertukar, tabaddul) dan selection (memilih, chiyar)
terhadap informasi, baik yang berupa pengetahuan maupun berupa ilmu. Seorang pembelajar
yang baik, harus mampu menyaring dan menyeleksi informasi. Disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhannya. Untuk data melakukan itu, seorang embelajar perlu
memiliki sikap tawaddhu’ (humble). Dalam etika belajar menurut islam, sikap
tawaddhu’ itu amat penting.
Tawaddhu’ adalah kesediaan untuk berada “dibawah”
yang memungkinkan informasi dapat mengalir ke dalam diri pembelajar tanpa
hambatan. Tawaddhu’ juga merapakan sikap “merasa kurang dan belum sempurna”,
sehingga melahirkan kesediaan untuk “terbuka” dan “menambah”, yang melahirkan dirinya
untuk “mencari” dan “memburu” dan menerima informasi dari berbagai jalan. Sikap
demikian akan menumbuhkan sikap cinta pengetahuan dan cinta ilmu dan sekaligus
dapat menghidupkan kemampuan berfikir logis dan bernalar, serta melahirkaan
kemampuan kritis dan kreatif untuk mengolah informasi. Hal demikian akan
terjadi karena dengan tawaddhu’ seorang pembelajar akan bersedia mendengar dan
bahkan menyalahkan dirinya, rela dikritik dan dikoreksi dan dikritisi, yang
semuanya adalah syarat mutlak bagi terjadinya penghimpunan, pertukaran dan
penyaringan yang efektif yang mengantarkannya pada perubahan diri bagi pembelajar
yang positif.
Selain itu, belajar pada tahap ini,
perlu didukung oleh sikap jujur (sidq) dan amanah (integritas). Dengan dukungan
kedua sikap tersebut daya nalar dan daya kritis pembelajar akan semakin tajam
dan “kena” (mencapai sasaran). Belajar yang tidak di back-up denggan kedua
sikap ini dapat menumbuhkan perilaku yang merugikan diri pembelajar. Alih-alih menjadi
seorang terpelajar (well informed) malah menjadi “asbun”, humazah-lumazah
(pengumpat-pencela) yang dapat merusak kemampuan nalarnya atau bahkan mencintai
gossip dan manipulasi.
Tahap kedua, adalah tahap pemaknaan
terhadap informasi yang telah disaringnya. Pada tahap ini, seorang pembelajar
secara substansial mengharuskan dirinya untuk mengolah, mengintegrasikan dan
mentansformasikan pengetahuan dan atau ilmu yang telah dimilikinya agar dapat
menjawab tuntutan-tuntutan persoalan yang dihadapinya (problem solving), yang
memungkinkan lahirnya tindakan-tindakan, pengetahuan atau ilmu yang lebih baru
dan lebih akurat dalam menjawab dan memenuhi kebutuhan dan memecahkan maslah
yang dihadapinya.
Pada tahap ini, selain sikap jujur dan
amanah, diperlukan sikap hirs (tekun) dan ishtibaar (endurance, daya tahan
tinggi). Informasi yang manipulative tidak akan menghasilkan sesuatu yang benar
dan berguna. Karena itu lah sikap jujur dan amanah erlu dijadikan pegangan. Namun,
untuk mengolah informasi yang benar, akurat dan mengintegrasikannya dengan
informasi yang benar lainnya, dan kemudian mentransformasikannya menjadi
pengetahuan dan ilmu baru atau menjadi tindakan (praksis) dan pengalaman yang
lebih bermakna memang memerlukan ketekunan dan kesabaran yang tinggi. Bahkan transformasi
pengetahuan dan ilmu menjadi praksis dan aksi yang bermanfaat, dalam
penglihatan islam, adalah suatu keharusan. Tradisi islam mengatakan “Al-‘Ilmu
bilaa ‘amalin Kasy-Syajari bilaa Tsamar”, juga menyebutkan “Wakullu man
bighoiri ‘ilmin ya’malu :: A’maaluhu mardudatun laa tuqbalu”. Suatu pengetahuan
yang tidak dioperasionalkan, tidak akan menghasilkan skill dan keterampilan
yang berguna dan bermanfaat (tsamar). Praktek, aktivitas, skill dan
keterampilan yang tidak berbasis pada knowledge atau ilmu yang benar juga tidak
akan membuahkan hasil yang optimal, bahkan cenderung merusak dan tertolak (marduud).
Hirs dan isthibaar itu diperlukan karena
kerja internalisasi yang akan menghasilkan kolaborasi, integrasi dan
transformasi seperti dimaksud diatas merupakan kerja yang kompleks dan rumit. Didalamnya
akan berjumpa dengan ragam-ragam penyaringan dan eksperimen yang harus
dilakukan, dengan tantangan pengulangan, kegagalan (errors) dan
gangguan-gangguan lainnya. Jika sikap-sikap tadi ditinggalkan, maka kerugiannya
seorang pembelajar akan menjadi “omdo” yang tidak pernah mampu
membuktikan perkataannya dengan aksi yang berguna. Atau alih-alih mampu
melakukan aksi atau tindakan yang benar, hanya akan mampu menjadi calo kerja
atau provokator “an taquluu ma laa taf’aluun”, karena memang
kemampuan amaliah atau kemampuan aksinya tidak dikembangkan.
Sikap jujur dalam menerima ilmu dan knowledge
serta mentransformasikannya kedalam kerja atau aktivitas, juga amat vital untuk
mendukung “keterbukaan” atau eksternalisasi dan sosialisasi ilmu serta knowledge,
sebagai bagian dari pengembangan ilmu dan knowledge itu sendiri. Adagium islam
mengatakan “kitmaanul-‘ilmi dzulmun” menyembunyikan ilmu apalagi
memanipulasinya adalah perbuatan dzalim.
Menghimpun dan mengolah ilmu dengan
sikap jujur serta mentransformasikannya kedalam tindakan, aktivitas atau aksi
yang juga jujur dan konsisten ; atau menuangkan aktivitas tindakan atau aksi
yang berbasis pada informasi, pengetahuan dan ilmu yang tidak manipulative,
seperti diatas merupakan tindakan yang benar dan seharusnya (sulch).
Tahap ketiga dari belajar adalah tahap
menjadikan sulch sebagai tindakan bawah sadar diri pembelajar, atau menjadi
shalih secara actual. Untuk sampai ke tingkat ini, seorang pembelajar harus
memiliki tekad untuk komitmen dan istiqomah (tuuluz-zamaani). Pembelajar pada
tahapan ini, tidak hanya memiliki ilmu (dzawil-‘ilmi) dan mampu
mengimplematasikannya dalam aksi (dzawil-‘amali), tetapi perilaku lurus yang
benar (sulch) seperti itu telah membudaya dalam pribadinya (shalihin). Pada pembelajar
yang shalihin produksi serta kualitas amal ilmiah (aktivitas terkonsepsi) dan
ilmiah ‘amaliah (intelektual terapannya) akan selalu meningkat. Namun, jika
sikap-sikap diatas tidak dihadirkan, seorang pembelajar tidak akan menjadi professional,
melainkan hanya akan menjadi “intelektual tukang” (wisuda al-amru ilaa ghoiri
ahlihi), yang hanya akan bekerja untuk memenuhi “pesanan sesaat” orang lain
dengan mengabaikan kesalehan pekerjaannya.
Ultimate Goal (target puncak) dari “kewajiban
belajar” (fardhu ‘ain) dalam islam adalah terproduksinya ilmu dan amal yang
shalih pada masing-masing pribadi yang nilai manfaat dan mashlahatnya melampaui
dirinya dan melimpah pada manusia yang lain dan alam semesta, sebagai rahmatan
lil’alamiin. Karena itu, belajar harus ditingkatkan menjadi upaya memasukkan
dan menanamkan nilai optimalisasi maksimum dari setiap amal shalihnya itu untuk
kemnfaatan dan kesjahteraan diluar dirinya tanpa pamrih apa dan siapa pun, kecuali
untuk mendapatkan ridho Allah. Mereka yang telah sampai pada tahapan ini
sejatinya adalah mereka yang berwawasan luas, mampu berfikir
holistic-integratif-multiperpective, memiliki budaya inovatif-kreatif, yang
ditandai dengan usaha keras untuk senantiasa mengembangkan, menemukan,
membiakkan, dan menganekaragamkan ilmu yang bermanfaat dan melipatgandakan amal
shalih, yang oreintasinya untuk membahagiakan dan mensejahterakan alam semesta,
melampaui pamrih dirinya, khoirukum anfa’ukum linnas. Pembelajar pada
tingkat itu adalah seorang “muhsin” yang dalam pencapaiannya
harus berhias dengan sikap ihlas dan tawakkal. Pudarnya sikap
ihlas dan tawakkal akan mengantarkan seorang pembelajar hanya menjadi
professional yang berorientasi pada manfaat dirim pragmatis dan komersil (Man-yasytaruu
bi ayatiHi tsamanan qolila).
Secara factual, tahap dan tingkat belajar
sebagai diurai diatas, adalah proses yang kontinyu dan kompak. Tahapan itu memang
harus ada, namun prosesnya berkelanjutan dan mampat waktu, karena tidak memiliki
waktu jeda diantara tahapannya dan harus berlangsung cepat jika dibutuhkan.
Dari itu, maka mental dan keterampilan
belajar harus selalu dipacu dan dijadikan prioritas dalam upaya mencapai sukses
pendidikan. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dengan demikian adalah
usaha menguatkan dan memelejitkan mental serta keterampilan belajar tersebut,
sehingga belajar semakin menyenangkan menjadi karakter diri.
Wallahu A’lamu
Cirebon, 18 Agustus 2014.
Rektor
Prof. DR. KH. Maksum Mukhtar, MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar