Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiiem
Di dunia ini, "Bisakah kita (manusia) melihat Dzat Allah SWT ?", ya benar "Secara
logika (aql), Dzat Allah SWT sangat mungkin bisa kita melihatNya", demikian jawab Imam Nawawi RA saat ketika
ditanya tentang hal itu, beliau mengutip pandangan para pendahulunya (salaf
shalih), silakan rujuk kitab "Syarh Nawawi 'Ala al-Muslim" (page
I/320).
Namun, kendatipun demikian, secara syar'ie hal itu belum
pernah dibuktikan oleh siapapun manusia didunia ini yang benar-benar
mampu melihat DzatNya secara kasat mata, ini semata-mata didasarkan
kpd dalil nash yang menunjukkan bahwa Nabiullah Musa AS -demi memenuhi
tantangan dari kaumnya- pun tak bisa membuktikan itu, artinya, Musa AS tak lantas diizinkan olehNya SWT untuk mampu melihat DzatNya yang sedemikian Agung itu,
namun hal ini tidaklah dimaknai sebagai "ketidak-mungkinan" manusia
mampu melihatNya seketika didunia, sebab tuntutan Musa AS kepada
Tuhannya -oleh para Ulama- itu ditafsirkan sebagai ungkapan/pertanyaan
yang masuk aqal (logis) dan wajar-wajar saja meskipun pada akhirnya Allah SWT tak mengizinkan
hal itu terjadi, Musa AS jatuh tersungkur dan pingsan tak sadarkan
diri.
Sampaipun yang
dialami oleh Rasulullah SAW di seketika beliau mi'raj ke langit hingga
melewati sidrah al-muntaha (dipanggil Tuhan untuk nantinya menerima
amanat besar/perintah langsung dari Allah berupa shalat), bahwa
Rasulullah di seketika ini benar-benar dapat melihat DzatNya secara
kasat mata, ini pun sifatnya masih polemik, masih diperdebatkan oleh
para pakar (muhaddits dan mutakalim), atau istilahnya masih debateble,
meski banyak hadits sahih yang mengungkap soalan ini, namun
kesimpulannya tetap masih debateble antara Rasulullah SAW melihatNya
langsung secara kasat mata (bir-Ruhihi waJasadihi) di satu sisi, atau di
sisi lain Beliau SAW tidak secara langsung melihatNya (bi-Qalbihi au
bi-Fu,aadihi).
Sedangkan menurut konsepsi aqidah Abu Hasan
al-Asy'ariy -menyangkut "bisa" atau "tidak"nya kita melihat Dzat Allah
SWT di dunia ini- ada dua kemungkinan ; 1). ya, bisa saja terjadi, dan
2). tak mungkin terjadi ... Pandangan ini kemudian ditetapkan oleh Imam
Abu al-Qasim al-Qusyaeri dlm "risalah"nya yang merupakan kutipan dari
Imam Abu Bakar ibn Faurak.
وقال
النووي -رحمه الله- مبيناً هذا المعنى: "أما رؤية الله في
الدنيا فقد قدّمنا أنها ممكنة، ولكن الجمهور من السلف والخلف من
المتكلمين وغيرهم أنها لا تقع في الدنيا، وحكم الإمام أبو القاسم القشيري
في رسالته المعروفة عن الإمام أبي بكر بن فورك أنه حكى فيها قولين للإمام
أبي الحسن الأشعري أحدهما : وقوعها، والثاني : لا تقع . إنتهى
شرح النووي على مسلم (ج1/ص320) إهـ
ومما يجب التنبيه عليه أن هناك فرقاً بين القول
بإمكانية الوقوع وبين حصول الوقوع، فإمكانية الوقوع لا تعني حصوله . إنتهى
Dan yang musti kita ingat di sini, adalah bahwa dalam pembahasan "Ru,yatullah fid-Dunya" ini , ada perbedaan mendasar antara dua ungkapan berikut ini, yaitu : Pertama, soal ada "kemungkinan" bisa terlihatnya Dzat Allah SWT secara kasat mata di dunia, dan kedua, tentang sebatas mana terjadinnya "keberhasilan" terlihatnya itu jika memang DzatNya itu bisa terlihat. Sebab kemungkinan ber"Tajalliy"nya itu tidak lantas kita pahami sebagai "dapat" menampaknya Dzat Allah SWT atas manusia sehingga Ianya bisa tertangkap dengan kasat mata (Tajalliy). yah, itu saja.
Hadza, wAllahu a'lamu.
<<>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar