Kamis, 30 Juni 2016

Kisah Inspiratif

Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiiem

Kisah ini terjadi dalam kekhalifahan Amiril Mukminin 'Umar Ibnu al-Khatthab RA, pada suatu hari, Umar sedang duduk termenung di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Disekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.

Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata : "Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin !!", "Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini !".

Umar segera bangkit dan berkata : "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda ?"

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata : "Benar, wahai Amirul Mukminin". "Ceritakanlah kepada kami kejadiannya", tukas Umar.

Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya : "Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, ku ikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera ku cabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini".

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu", sambung pemuda yang ayahnya terbunuh. "Tegakkanlah had Allah atasnya !!" timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh. "Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat", ujarnya. "Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu" lanjut Umar.

"Maaf, Amirul Mukminin", sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, "Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa".
Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata : "Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah", ujarnya dengan tegas.

"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash".

"Mana bisa begitu ?", ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.
"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu ?", tanya Umar. "Sayangnya tidak ada, wahai Amirul Mukminin".

"Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku ?", pemuda lusuh balik bertanya kepada Umar.

"Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji." kata Umar.

"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah-lah penjaminku wahai orang-orang beriman", rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang : "Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin".

Ternyata Salman al-Farisi yang berkata. "Wahai Abu Dzar ?!" hardik Umar marah.
"Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini".

"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, yaa, Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya", jawab Abu Dzar tenang. Akhirnya dengan berat hati, Umar mengizinkan Abu Dzar menjadi penjamin bagi si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Abu Dzar, salah satu sahabat Rasulullah S.A.W. yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Abu Dzar dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.
Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

Itu dia!” teriak Umar. “Dia datang menepati janjinya !!”. Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.

Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin..” ujarnya dengan susah payah, “Tak kukira... urusan kaumku... menyita... banyak... waktu...” .... ”Kupacu... tungganganku... tanpa henti, hingga... ia sekarat di gurun... Terpaksa... kutinggalkan... lalu aku berlari dari sana..

Demi Allah”, ujar Umar menenanginya dan memberinya minum, lalu “Mengapa kau susah payah kembali ?, Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang ?” tanya Umar.

Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan... di kalangan Muslimin... tak ada lagi ksatria... menepati janji...” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya : “Lalu kau, Abu Dzar, mengapa mau- maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal ?"

Kemudian Abu Dzar menjawab : "Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”.

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

Allahu Akbar !!”, Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak. “Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu”. Dan akhirnya semua orang tersentak kaget.

Kalian...” ujar Umar. “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru. Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana : ”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya”.

Allahu Akbar !!” teriak hadirin. Maka, pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.
MasyaAllah..., saya bangga menjadi muslim bersama kita ksatria-ksatria muslim yang memuliakan al islam dengan berbagi pesan nasehatnya untuk berada dijalan-Nya..

Allahu Akbar…!

من غرائب القصص في عهد عمر بن الخطاب

حدث في عهد عمر بن الخطاب أن جاء ثلاثة ‏أشخاص ممسكين بشاب، وقالوا : يا أمير المؤمنين ‏نريد منك أن تقتص لنا من هذا الرجل، فقد قتل ‏والدنا. قال عمر بن الخطاب : لماذا قتلته ؟, قال الرجل : ‏إني راعى إبل، وأعز جمالي أكل شجرة من أرض ‏أبيهم، فضربه أبوهم بحجر فمات، فأمسكت نفس ‏الحجر وضربته به، فمات.

قال عمر بن الخطاب : ‏إذا سأقيم عليك الحد. قال الرجل : أمهلني ثلاثة أيام ‏فقد مات أبي، وترك لي كنزاً أنا وأخي الصغير، فإذا ‏قتلتني ضاع الكنز، وضاع أخي من بعدي. فقال ‏عمر بن الخطاب : ومن يضمنك ؟, فنظر الرجل في ‏وجوه الناس فقال : هذا الرجل .

فقال عمر بن الخطاب : يا أبا ذر هل تضمن هذا الرجل؟, فقال أبو ذر : نعم يا أمير المؤمنين . فقال عمر بن ‏الخطاب : إنك لا تعرفه، وإن هرب أقمت عليك ‏الحد . فقال أبو ذر : أنا أضمنه يا أمير المؤمنين. ‏ورحل الرجل، ...

ومر اليوم الأول، والثاني، والثالث ‏وكل الناس كانوا قلقين على أبي ذر حتى لا يقام ‏عليه الحد. وقبل صلاة المغرب بقليل جاء الرجل ‏وهو يلهث، وقد اشتد عليه التعب والإرهاق ووقف ‏بين يدي أمير المؤمنين عمر بن الخطاب

قال ‏الرجل : لقد سلمت الكنز وأخي لأخواله، وأنا تحت ‏يدك لتقيم علي الحد . فاستغرب عمر بن الخطاب ‏وقال : ما الذي أرجعك كان من الممكن أن تهرب ؟, ‏فقال الرجل : خشيت أن يقال لقد ذهب الوفاء ‏بالعهد من الناس.

فسأل عمر بن الخطاب أبا ذر ‏لماذا ضمنته ؟, فقال أبو ذر : خشيت أن يقال : لقد ‏ذهب الخير من الناس . فتأثر أولاد القتيل فقالوا : لقد ‏عفونا عنه . فقال عمر بن الخطاب:  لماذا ؟ فقالوا : نخشى أن يقال لقد ذهب العفو من الناس !.

فذكرها الإتليدي في بداية كتابه : (نوادر الخلفاء) المشهور باسم : (إعلام الناس بما وقع للبرامكة مع بني العباس ص11). وذكرها لويس شيخو اليسوعي مؤسس مجلة المشرق في كتابه: (مجاني الأدب في حدائق العرب 4/230)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar